Abu Mihjan, Khamr, dan Semangat Jihad
Tidak semua orang yang ketika hijrah, sanggup meninggalkan kebiasaan lamanya dengan segera. Demikian pula dengan seorang Abu Mihjan ra. Simak kisahnya berikut ini, semoga bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang tengah hijrah namun merasa begitu sulit meninggalkan kebiasaan lamanya yang buruk
Abu Mihjan ats-Tsaqafi termasuk pahlawan gagah berani di masa silam. Seorang pejuang yang tidak mengenal kata lelah dan mengetahui kapan harus menyerang. Namun Abu Mihjan sangat menyukai minum khamar, hingga ia harus dihukum dari perbuatannya itu.
Dia tumbuh dan dibesarkan oleh Kabilah Tsaqif, kabilah yang tidak mengenal kata menyerah atau lari dari medan perang, dan kabilah yang tidak mudah untuk dikalahkan. Kabilah yang terus mengembangkan senjatanya, dari senjata pedang ke tombak, dari panah ke manjaniq adalah kendaraan unta dan kuda beralih pada kendaraan amphibi. Kendaraan yang dapat menghancurkan benteng dan dapat menghalau musuh. Selain ini mereka sangat mahir dalam menunggang kuda dan penyembah Latta.
Sindiran Allah bagi bani Tsaqif yang menyembah berhala ditegaskan dalam surat an-Najm (53: 19-20) : “Apakah kamu, hai orang-orang musyrik patut menganggap Latta, Uzza, dan Manat sebagai anak perempuan Allah?”
Orang-orang Tsaqif telah mendengar dakwah Islam, namun mereka belum memeluk Islam dan tetap musyrik hingga penaklukan kota Mekah. Allah menghendaki kebaikan bagi mereka, maka Dia memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.
Dikutip dari buku “Kesatria Pilihan di sekitar Rasulullah” karya Dr Abdurrahman Umairah bahwa keislaman Abu Mihjan terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup namun dikatakan sangat lama, karena ia baru hijrah setelah mayoritas kabilah Tsaqafi masuk Islam. Orang yang pertama masuk Islam dari bani Tsaqif ialah dua orang hamba Lailin, pemimpin kabilah bani Tsaqif.
Pada masa jahiliyah, semua bangsa Arab hobi meminum khamar. Mereka meminumnya di perjalanan dan di rumah, baik pagi maupun malam. Maka hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang sangat sulit untuk ditinggalkan, seperti yang dialami Abu Mihjan. Karena itu, seperti dalam ayat-ayat Alquran Allah SWT hendak mengharamkan khamar dengan cara bertahap agar hamba-hamba Nya dapat menerima pengharaman tersebut.
Allah SWT berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (al-Baqarah (2): 286).
Kemudian pada tahapan kedua Allah dengan mengharankan khamar dengan menjelaskan bahaya dan manfaatnya, namun bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya. Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (al-Baqarah (2): 219).
Tahapan kedua dengan cara larangan meminum khamar pada waktu-waktu shalat. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (an-Nisaa (4): 43)
Dengan demikian, terdapat jeda antara meminum khamar dan meninggalkannya. Mereka tidak meminum khamar di waktu pagi karena khawatir dapat meninggalkan waktu shalat Zuhur, Ashar, dan Maghrib. Hanya satu waktu saja mereka dapat meminum khamar, yaitu setelah shalat isya.
Kemudian masyarakat muslim untuk tidak meminum khamar merupakan hal penting dan utama dalam pengharamannya, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu menjadi orang yang beruntung.” (al-Maidah (5): 90).
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah (5): 91).
Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, Abu Mihjan dihukum dengan hukuman cambuk karena meminum khamar. Kemudian, dia meminumnya kembali dan mendapatkan lagi hukuman tersebut. Umar berpikir untuk mengasingkan Abu Mihjan ke daerah pesisir dengan dikawal oleh seorang prajurit, namun dia melarikan diri dan menyusul Sa’ad bin Abi Waqqash di Qadisiyah.
Pada awalnya Abu Mihjan ingin membunuh prajurit yang dikirim Umar untuk mengawalnya, namun prajurit tersebut merasakan gelagat tak baiknya sehingga dia lari dan menemui Umar, lalu menceritakan dan menggambarkan kepada beliau tentang hal itu. Umar menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar memenjarakan Abu Mijan dan dia melaksanakan tugas tersebut.
Abu Mihjan dan perang Qadisiyah
Perang Qadisiyah termasuk peperangan yang menentukan dalam sejarah Islam. Peperangan tersebut terjadi di Persia. Kerajaan Persia telah mengumpulkan seluruh kemampuan personil, persenjataan modern dan prajurit-prajurit asing. Namun keinginan yang kuat, keyakinan yang mantap, kecintaan untuk mendapatkan syahid dalam peperangan menjadikan kemenangan bagi umat Islam. Peperangan tersebut terjadi di alam terbuka dan berlangsung sepanjang siang hari.
Bila matahari akan terbenam, kedua belah pihak yang berperang mundur untuk beristirahat dan menyiapkan segala kebutuhan perang keesokan harinya. Abu mihjan yang berada di dalam sel merasa putus asa dan sedih karena tidak menjadi seorang prajurit yang memperjuangkan agamanya.
Dia bersenandung, “ Sedih menyelimuti hatiku, karena diriku terbelenggu di balik jeruji besi. Bila engkau melepaskan besi yang membelenggu diriku ini niscaya akan aku raih syahid dalam perang. Dirikku kaya akan harta dan kawan, namun kini mereka meninggalkanku sebatang kara. Tubuhku kering karena sengatan matahari, kuperbaiki timbangan yang rusak. Hanya ampunan Allah yang kuharap. Di hari perang, kutinggalkan keluargaku dan orang-orang menahanku dari peperangan yang kuinginkan. Sedangkan amal orang lain pada hari tersebut sangatlah banyak dan Allah mempunyai janji, janji yang aku tidak tertinggal darinya. Sungguh bila kamu lepaskan dirimu, niscaya tidak akan kukunjugi mereka.”
Ketika perang sedang berlangsung seru, Abbu Mihjan memohon kepada istri Sa’ad agar dia berkenan melepaskan dan memberikan kuda Sa’ad kepadanya. Dia berjanji akan kembali lagi sebagai tawanan bila selamat dalam peperangan tersebut, maka, istri Sa’ad melepaskannya, dia keluar dan langsung masuk ke medan perang yang sedang berkecamuk. Sa’ad melihat kehadiran Abu Mihjan namun tidak menyadarinya.
Dia merasa kagum atas kepahlawanannya, seraya bertanya , “Siapa dia? Dia berjuang seperti orang yang sedang mencari kematian di medan perang. Berperang untuk mendapatkan kemenangan atau mati syahid. Dan seperti berperang guna membersihkan dirinya dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada masa lalu dan membela agama Allah. Semoga Allah menerima tobatnya dan mengampuni semua kesalahan yang dilakukannya.”
Abu Mihjan berperang dengan meyibak barisan lawan, bagaikan api yang dilempar di atas daun kering sehingga tidak ada yang dapat menghindar dari serangannya. Allah memberikan kemenangan gemilang bagi pasukan muslim. Hanya saja dirinya tidak beruntung mendapatkan mati syahid. Kemudian, dia kembali ke tempat semula hingga Allah memberikan kemudahan baginya.
Sa’ad kembali ke rumah, sehari setelah peperangan selesai. Istrinya bertanya, “Bagaimana peperangan kalian?” Sa’ad menjawab pertanyaan istrinya dengan mengatakan, “Saat kami sedang terlibat peperangan yang sengit, tiba-tiba muncul sosok yang duduk di atas kuda yang sangat bagus. Seandainya aku tidak mengikat Abu Mihjan, aku yakin orang tersebut adalah Abu Mihjan.” Istrinya berkomentar, “Demi Allah, itu memang Abu Mihjan. Dia telah memohon begini dan berjanji demikian.”
Sa’ad mengakui pasukan Muslim mengalami ujian yang sangat berat pada perang tersebut. Menurutnya, tidak seorang pun yang dapat melakukan apa yang dilakukan oleh Abu Mihjan. Kemudian dia melepaskan ikatan Abu Mihjan seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghukum cambuk kepadamu satu kali untuk selamanya.”
Abu Mihjan menuturkan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum khamar lagi. Aku meninggalkan minuman tersebut bukan karena takut dicambuk oleh kalian, melainkan untuk membersihkan jiwaku.” Kemudian dia berkata, “Awalnya, aku melihat ada kebaikan pada khamar, tapi ia dapat merusak orang saleh. Demi Allah, aku tidak akan meminumnya kembali selama hidupku. Meskipun aku sakit, aku tidak akan menjadikannya obat.”
Abu Mihjan menjadi seorang muslim yang konsisten dalam menjalankan ajaran agama, ahli tahajjud, dan seorang pejuang yang selalu membela agama Allah. Selesai dari satu peperangan, dia masuk ke peperangan lainnya untuk menghilangkan halangan yang menghalangi dakwah Islam. Hingga dalam waktu singkat, Islam hampir mencapai negeri Persia dan daerah sekitarnya seperti Sindu, India, Syam, dan Turki serta Romawi.