2 min read

Hukum Cicil Emas

Bagaimana hukum membeli emas secara kredit dalam Islam? Simak Jawaban dari Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
Hukum Cicil Emas

Produk cicilan emas adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan untuk membeli emas logam mulia dalam bentuk batangan yang diangsur setiap bulannya dengan akad murabahah (jual beli). Produk cicilan emas tersebut diperkenankan sebagaimana fatwa DSN MUI Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai.

Jika emas tersebut dititipkan nasabah ke bank syariah, itu diperkenankan selama disepakati, emasnya wujud (tidak fiktif), dan dimiliki—minimal secara prinsip—sebelum dijual kepada nasabah. Sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.

Pertama, menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, bahwa emas yang dimaksud dalam hadis Ubadah adalah alat pembayaran, sehingga emas (baik logam mulia ataupun perhiasan) bukan bagian dari emas dalam hadis karena emas dipandang sebagai komoditas (bukan alat pembayaran).

Dalam hadis Ubadah bin ash-Shamit, Rasulullah SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim).

Dan hadis dari Umar bin Khatthab, Rasulullah SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali secara tunai." (HR Muslim).

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, illat emas dalam hadis Ubadah tersebut adalah keberadaannya sebagai alat tukar/alat pembayaran (atsman li al-asy-ya') (Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd, bab Riba al-Buyu).

Dengan demikian, pertukaran antara mata uang dan emas sebagaimana dijalankan pada produk cicilan emas tersebut tidak diharuskan tunai, tetapi boleh tidak tunai dan tidak termasuk riba jual beli (riba nasa') karena pertemuan (tukar menukar) antara uang dan barang.

Kedua, tradisi (urf) masyarakat dan otoritas yang menyimpulkan bahwa emas itu komoditas bukan alat pembayaran. Sebagaimana kaidah, "Sesuatu yang menjadi kebiasaan dihukumi sama dengan sesuatu yang dipersyaratkan." (al-Asybah wan-Nazhair, as-Suyuthi, 92).

Alat pembayaran harus diterbitkan oleh otoritas dan menjadi alat tukar dalam sirkulasi barang dan jasa. Kedua karakteristik tersebut tidak tersedia pada emas yang saat ini.

Sulaiman Mani' berkata, "Uang adalah sesuatu yang dijadikan harga oleh masyarakat baik terdiri atas logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya yang diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas." (Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami).

"Bahwa uang adalah suatu benda yang pada dasarnya dapat berfungsi sebagai alat tukar, alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda. Uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas moneter." (Bank Indonesia, uang, Jakarta, 2002).

"Pembiayaan kepemilikan emas (PKE) adalah pembiayaan untuk kepemilikan emas dengan menggunakan akad murabahah. Objek PKE adalah emas dalam bentuk lantakan (batangan) dan/atau perhiasan." (Surat Edaran Bank Indonesia No.14/16/DPbS).

Ketiga, karena emas adalah komoditas, maka boleh diperjualbelikan dengan angsuran dan margin, termasuk dengan skema murabahah. Jual beli secara kredit diperkenankan sebagaimana keputusan lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam Nomor 51 (2/6)[1] dalam pertemuan VI pada 20 Maret 1990 di Jeddah tentang jual beli kredit. Harga dalam jual tidak tunai itu boleh lebih besar dari harga jual tunai (majalah lembaga Fiqih Islam edisi VI, juz 1, hlm 193).

Keempat, jika emas yang diperjualbelikan dalam produk cicilan emas tersebut disimpan atau dititipkan di bank syariah oleh nasabah, maka harus dipastikan emas tersebut itu ada (wujud) dan bisa diambil atau dikuasai oleh nasabah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika akad jual beli murabahah menjadi pilihan, maka dipastikan penjual telah memiliki secara prinsip emas tersebut sebelum dilakukan jual kepada nasabah.

Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI