1 min read

Bolehkan Berqurban dengan Berhutang?

Bolehkan Berqurban dengan Berhutang?
Photo by Gilles DETOT / Unsplash

ibadah menyembelih hewan qurban itu bagi yang mampu dan punya uang bukan kewajiban, melainkan hanya sunnah saja. Buktinya Abu Bakar dan Umar radhiyallahuanhu meski keduanya orang kaya dan menjadi amirul-mukminin, tidak setiap tahun melakukan penyembelihan hewan qurban.

Kalau mereka yang kaya dan berkecukupan saja tidak diwajibkan untuk menyembelih hewan qurban, apalagi kita yang tidak mampu dan tidak punya harta, tentu hukumnya lebih tidak wajib lagi, bukan?

Namun demikian, lepas dari urusan hukumnya yang sunnah, para ulama berbeda pendapat dalam pinjam uang untuk berqurban. Sebagian ulama ada yang membolehkannya, namun sebagian lain ada yang tidak membolehkan.

1. Membolehkan

Di antara pihak yang membolehkan berqurban dengan uang hasil hutang adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri rahimahullah.

“Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Apakah kamu berhutang untuk membeli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman:

لَكُمْ فِيهَا خَيْر
Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta qurban tersebut). (QS. Al Hajj: 36)

Jadi apabila tidak merepotkan dalam urusan membayar uang penggantian hutang, dan juga tidak mengandung riba, maka berhutang untuk berqurban pada dasarnya dibolehkan, setidaknya menurut pendapat ini.

2. Tidak Membolehkan

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Artinya, tidak dianjurkan berhutang demi sekedar melaksanakan penyembelihan hewan qurban yang hukumnya sunnah.

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan,

“Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutangnya daripada berqurban.”

Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab :

“Jika dihadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunasi hutang orang yang faqir maka lebih utama melunasi hutang tersebut, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.”

Sejatinya, pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika berqurban adalah untuk orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau untuk hutang yang jatuh temponya masih panjang.

Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada qurban adalah untuk orang yang kesulitan melunasi hutang atau pemiliknya meminta agar segera dilunasi.

Ahmad Sarwat, Lc., MA