4 min read

Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa

Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa

Kesimpulan masalah ini memang para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukumnya. Ada yang menjadikannya mustahab (sunah), tetapi ada juga yang meninggalkannya.

Sering kita dapati kaum muslimin di sekeliling kita, setiap kali mereka selesai berdoa mereka megusapkan tangannya ke wajah. Akan tetapi, ada sebagian lain yang tidak mengusapkan tangannya ke wajah. Terkadang perbedaan ini membuat hubungan satu sama lain antara kaum muslimin agak renggang. Hal ini dikarenakan mereka yang mengusapkan tangan ke wajahnya setelah berdoa dianggap sebagai amalan bid’ah yang tempatnya di neraka. Benarkah seperti itu, bagaimana fatwa-fatwa para ulama mengenai permasalahan ini? Dibawah ini kami sajikan fatwa-fatwa ulama mengenai permasalahan ini.

Imam An-Nawawi (631-676 H) rahimakumullah , beliau menyatakan di dalam bukunya al-Majmu’ bahwa yang benar adalah berdoa mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, berikut ini ucapannya:

وَالْحَاصِلُ لِأَصْحَابِنَا ثَلَاثَةَ أَوْجَهٍ الصَحِيْحُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ يَدَيْهِ دُوْنَ مَسْحِ الْوَجْهِ وَالثَّانِي لَا يُسْتَحَبَّانِ وَالثَّالِثَ يُسْتَحَبَّانِ وَأَمَّا غَيْرُ الْوَجْهِ مِنَ الْصَدْرِ وَغَيْرِهِ فَاتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَي أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ

Kesimpulannya, para sahabat kami (ahli fikih madzhab Syafi’i) ada tiga pendapat; yang shahih disunnahkan mengangkat kedua tangan tetapi tanpa mengusap wajah, kedua tidak disunnahkan keduanya, (ketiga) disunnahkan keduanya. Ada pun selain wajah, seperti dada dan selainnya, para sahabat kami sepakat bahwa hal itu tidak dianjurkan. (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, 3/501)

Imam Abdullah bin Al Mubarak RA pernah ditanya mengenai permasalah ini.

عَلِىُّ الْبَاشَانِىُّ قَالَ سَأَلَتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الَّذِى إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ قَالَ لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبَتًا.

Ali al-Basyani berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah (Abdullah bin al-Mubarak) tentang orang yang jika berdoa mengusap wajahnya, Beliau berkata: “Aku belum temukan riwayat yang kuat.” (Sunnan al-Baihaqi al-Kubra, Ahmad bin Husain bin ‘Ali bin Musa Abu Bakr al-Baihaqi, 2/ 212)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah berkata,

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ

Adapun mengangkat tangan saat berdo’a dilakukan oleh Nabi SAW sebagaimana terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan hal ini. Adapun mengusap wajah setelah do’a, tidak ada yang menerangkan hal ini kecuali satu atau dua hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah (dasar hukum). (Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, 22/519)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahumullah, beliau menjawab pertanyaan mengenai hukum mengusap wajah setelah berdoa,

مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ لَيْسَ بِدْعَةً لَكِنْ تَرْكُهُ أَفْضَلُ لِلْأَحَادِيْثِ الضَّعِيْفِ وَقَدْ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ إِلَى تَحْسِيْنِهَا لِأَنَّهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ لِغَيْرِهِ كَمَا ذَلِكَ الْحَافِظُ بْنِ حَجَرٍ -رحمه الله- فِيْ آخِرِ بُلُوْغِ الْمَرَامِ وَذَكَرَ ذَلِكَ آخَرُوْنَ فَمَنْ رَآهَا مِنْ بَابِ الْحَسَنِ اسْتَحَبَّ الْمَسْحُ وَمَنْ رَآهَا مِنْ قِبَيِلِ الضَّعِيْفِ لَمْ يَسْتَحِبَّ لِمَسْحٍ وَالْأَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ لَيْسَ فِيْهَا مَسْحُ الْوَجْهِ بَعْدَ الدُّعَاءِ الْأَحَادِيْثُ الْمَعْرُوْفَةُ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا فِيْ أَحَدِ الصَّحِيْحَيْنِ لَيْسَ فِيْهَا مَسْحٌ إِنَّمَا فِيْهَا الدُّعَاءُ فَمَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ وَمَنْ تَرَكَ فَهُوَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْأَحَادِيْثَ التِي فِيْ الْمَسْحِ بَعْدَ الدُّعَاءِ مِثْلَمَا تَقَدَّمَ ضَعِيْفَةٌ وَلَكِنْ مَنْ مَسَحَ فَلَا حَرَجَ وَلَا يُنْكِرُ عَلَيِهِ وَلَا يُقَالُ بِدْعَةٌ.

Mengusap wajah setelah shalat bukanlah amalan bid’ah. Akan tetapi meninggalkannya afdhol (lebih utama) karena dho’ifnya hadits-hadits yang menerangkan hal ini. Namun sebagian ulama telah menghasankan hadits tersebut karena dilihat dari jalur lainnya yang menguatkan. Di antara ulama yang menghasankannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah dalam akhir kitabnya Bulughul Marom. Demikian pula pendapat ulama yang lainnya. Barangsiapa yang berpendapat bahwasanya haditsnya hasan, maka dianjurkan baginya untuk mengusap wajah. Sedangkan yang mendho’ifkannya, maka tidak dianjurkan baginya untuk mengusap wajah. Namun tidak ada hadits shahih yang menganjurkan mengusap wajah sesudah berdoa. Begitu pula hadits yang telah ma’ruf dalam Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya tidak membahas masalah mengusap wajah setelah berdo’a, yang dibahas hanyalah masalah doa. Barang siapa yang mengusap wajah setelah berdoa, maka tidaklah mengapa. Namun meninggalkannya, itu lebih afdhol. Karena sebagaimana dikatakan tadi bahwa hadits-hadits yang membicarakan hal itu dho’if. Akan tetapi, yang mengusapnya tidaklah mengapa. Hal ini pun tidak perlu diingkari dan juga tidak perlu dikatakan bid’ah. (http://www.binbaz.org.sa/mat/11228)

Tampak dari uraian di atas, dalam masalah mengusap wajah, para ulama berbeda pendapat. Penyebabnya karena para ahli hadis berbeda pendapat dalam menetapkan kekuatan dalilnya. Dan selama suatu masalah masih merupakan khilafiyah di kalangan ulama, setiap muslim berhak untuk memilih mana yang sekiranya lebih dipilihnya.

Sebagian dari mereka mendaifkan hadis tentang mengusap wajah setelah berdoa, seperti Syaikh Nasiruddin Al-Albani dan lain-lainnya. Bahkan beliau sampai mengatakan bidah. Di antaranya adalah hadis-hadis ini, “Apabila kalian telah selesai (berdoa), maka usapkan tangan ke wajah kalian.”

Beliau mengatakan bahwa lafaz di atas adalah syahid yang tidak benar dan mungkar karena ada di antara para perawinya ada yang muttaham fil wadh’i. Abu Zar’ah juga mengatakan bahwa hadis ini mungkar dan dikhawatirkan tidak ada asalnya. Demikian disebutkan dalam As-Silsilah As-Shahihah jilid 2 halaman 146.

Sedangkan ulama lainnya yang sama-sama mendaifkan hadis tentang itu, tidak sampai mengatakan bidah. Di antara mereka ada Ibnu Taimiyah, Al-‘Izz ibnu Abdissalam dan lainnya. Lantaran hadis yang dianggap daif masih bisa digunakan asal untuk masalah fadhailul amal (keutamaan amal).

Ibnu Taimiyah berkata, “Sedangkan mengusap wajah dengan dua tangan, hanya ada dasar satu atau dua hadis yang tidak bisa dijadikan hujjah.” (Lihat Majmu’ Fatawa jilid 22 halaman 519). Al-‘Izz ibnu Abdissalam berkata, “Tidak ada orang yang mengusap tangan ke wajahnya setelah berdoa kecuali orang yang jahil.”

Dari Umar bin Al-Khattab berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, tidak melepaskannya kecuali setelah mengusapkan keduanya ke wajahnya.” (HR Tirmizy)

Perawi hadits ini yaitu Imam At-Tirmizy mengatakan bahwa hadis ini gharib, maksudnya perawinya hanya satu orang saja. Hadis yang sama namun lewat jalur Ibnu Abbas dengan esensi yang sama, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya. Namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadis ini bahwa dalam isnadnya, setiap orang ada kelemahannya. (Lihat Al-Azkar An-Nawawi halaman 399).

Di pihak lain, sebagian ulama tetap bisa menerima masyru’iyah mengusap tangan ke wajah, meski masing-masing hadisnya daif namun saling menguatkan satu dengan lainnya. Selain telah menjadi umumnya pendapat ulama bahwa bila hadis daif digunakan untuk hal-hal yang bersifat keutamaan, masih bisa dijadikan hujjah, asalkan kedaifannya tidak terlalu parah.

Maka Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Subulus-Salam mengatakan bahwa meski hadis-hadis tentang mengusap wajah itu masing-masing daif, namun satu sama lain saling menguatkan. Sehingga derajatnya naik menjadi hasan. (Lihat Subulus-salam jiid 4 halaman 399).

Kesimpulan masalah ini memang para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukumnya. Ada yang menjadikannya mustahab (sunah), tetapi ada juga yang meninggalkannya.