Belajar Filsafat untuk Mengokohkan Akidah
Oleh: Kholili Hasib
DALAM mempelajari sebuah ilmu, harus memperhatikan kaidah dan petunjuk agama. Ilmu apapun jika menafikan petunjuk dan prinsip-prinsip dasar thalabul ilmi (mencari ilmu) akan mengakibatkan jatuh pada kesesatan.
Belajar al-Qur’an dan Hadist, jika niat salah, maka kekeliruan yang didapat. Bahkan bisa tersesat jika konsep al-Qur’an dan hadisnya salah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan semakin jauh dari Allah.” (HR. Abu Nu’aim).
Ilmu filsafat sering disalah persepsi sebagai ilmu yang menyebabkan orang tersesat. Ada beberapa sebab ilmu ini dianggap miring, sehingga harus dijauhi. Di antaranya; pengaruh framework Orientalis Barat. Menurut orientalis, Islam tidak memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis.
Kaum Muslim hanya mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara belajar menurut framework Barat. Implikasi dari pemikiran ini ada dua; pertama, para mahasiswa yang termakan framework tersebut mempelajari filsafat sekuler. Filsafat yang dikonstruk ilmuan Barat tanpa reserve dan kajian kritis.
Cara belajar yang begini yang menjauhkan dari Allah, karena tidak memakai framework Islam dan worldview Islam. Kedua, sebagian kaum Muslim yang percaya dengan propaganda orientalis itu langsung ‘memukul rata’ bahwa semua jenis filsafat haram dan tidak boleh dipelajari karena berasal dari orang Barat yang sekular.
Sebagian kaum Muslim pun ‘rigid’ dan kaku menyikapi ilmu filsafat. Mereka percaya saja apa yang dipropagandakan orientalis itu tanpa mengkaji mendalam bagaimana respon para ulama terdahulu.
Dalam tradisi ulama’ terdahulu, telah lama berkembang persepsi bahwa Islam memiliki tradisi filsafat tersendiri yang berbeda dan berlawanan dengan filsafat Barat atau Yunani.
Ilmu syariat mengawal dan terus dijadikan pondasi dalam ilmu filsafat. Bahkan beberapa ulama terdahulu mempelajari ilmu filsafat Yunani dalam rangka mengoreksi dan mengkritik kekeliruannya. Hanya, ada petunjuk dan kaidah untuk mempelajarinya.
Ibn Rusyd dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat. Dalam keterangannya, Ibn Rusyd mengaitkan dengan pemecahan persoalan-persoalan dalam ilmu syariat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa syariat Allah itu wajib diikuti dan membimbing manusia menuju kemulyaan.
Filsafat di sini ternyata bukan filsafat anti-ketuhanan, dan sekular, namun cara berpikir mendalam, logis, teratur tanpa menafikan wahyu.
Imam al-Ghazali sesungguhnya juga tidak menolak filsafat. Akan tetapi — seperti yang ditulis dalam Tahafut al-Falasifah — beliau hanya mengkritik prinsip pemikiran-pemikiran filsafat yang tidak sesuai dengan wahyu. Prinsip-prinsip filsafat Yunani ia kritik karena bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
Al-Ghazali percaya, bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip filsafat tersendiri yang berbeda dengan konsep-konsep asing. Hal ini ia buktikan dalam karya-karya lainnya seperti Ihya Ulumuddin, al-Mustasyfa, Fada’ih al-Bathiniyyah,al-Munqidz min al-Dlalal, Kimiya’ al-Sa’adah, dan lain-lain.
Karya-karya tersebut menyajikan penjelasan prinsip-prinsip memperoleh pengetahuan, klasifikasi ilmu, logika, cara pemecahan persoalan secara mendalam, sampai ke akar-akarnya dan sistematis – yang merupakan ciri berpikir filsafat secara umum.
Bahkan Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika memenuhi syarat. Yaitu asalkan berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam. Filsafat yang berdasarkan al-Sunnah ini beliau sebut dengan al-Falsafah al-Shahihah (filsafat yang benar).
Dengan demikian, sesungguhnya para ulama’ menerima filsafat sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari. Imam al-Ghazali mensyaratkan orang yang sudah memiliki dasar-dasar agama, berilmu dan cerdas yang boleh mendalami ilmu filsafat dan mantiq. Orang awam dilarang karena belum memerlukannya.
Tuduhan bahwa al-Ghazali ‘mematikan’ filsafat adalah tidak benar. Penolakan para ulama’ sesungguhnya wajar dan berlaku untuk ilmu-ilmu yang lainnya, tidak hanya filsafat. Ilmu apa saja, jika tidak sesuai dengan syariat tidak boleh diikuti.
Tiap ilmu memiliki jenjang masing-masing dalam mempelajarinya. Seperti halnya pelajaran kalkulus tidak diajarkan kepada anak sekolah dasar. Bukan ‘diharamkan’, tapi belum waktunya.
Dalam Islam, cara berpikir yang mendalam dan logis memiliki prinsipnya tersendiri yang berbeda dengan prinsip ilmu-ilmu asing. Maka, dalam tradisi para ulama terhadahulu sudah biasa terjadi adapsi (modifikasi) ilmu yang berasal dari Yunani. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dibuang dan diganti dengan konsep-konsep Islami. Ini merupakan sesuatu yang alami dalam dialektika peradaban.
Michael Marmura — seperti ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi — mengatakan cendekiawan Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep.
Aktifitas menyeleksi konsep tentu tidak dapat dilakukan kecuali cendekiawan Muslim memiliki pengetahuan sebelumnya tentang mantiq, filsafat dan tentunya prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Berarti, mereka memiliki tradisi berpikir yang kritis, analitis, tertib dan mendalam.
Jika filsafat dimaknai secara umum sebagai metode berpikir yang mendalam, sistematis, evaluatif, analtitis dan tertib, maka dalam tradisi ilmu-ilmu Islam kita menjumpainya.
Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadis, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Tasawwuf.
Framework Islam
Wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dan sebagainya sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, epistemologi dan kosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat.
Para ulama telah mengkajinya sebelum berkenalan dengan pemikiran filsafat Yunani. Adapun tuduhan bahwa kaum Muslim baru mengenal filsafat setelah membaca karya-karya Yunani adalah tuduhan orientalis.
Orientalis Alfred Gullimaune, O’Leary dan lain-lain mengatakan bahwa Islam tidak memiliki tradisi berpikir yang logis dan argumentatif mendalam. Penilaian ini tidak tepat, tujuannya untuk merendahkan tradisi pemikiran ulama, yang sesungguhnya sangat maju dan canggih.
Dengan demikian prinsip-prinsip dasar dalam filsafat telah ada dan menjadi bagian dalam tradisi keilmuan Islam. Kaidah Ushul Fikih yang disusun oleh Imam al-Syafi’i mengandung logika-logika yang canggih. Al-Jili menulis kitab mantiq.
Para mutakallimun Sunni (teolog Muslim) membantah pemikiran Mu’tazilah dengan metode berpikir yang argumentatif, mendalam dan tertata – tanpa mengabaikan dalil-dalil al-Qur’an al-Sunnah.
Jadi, tradisi berpikir filosofis dalam tradisi ulama Islam tidaklah asing, ia jauh telah ada sebelum para cendekiawan Arab bersentuhan dengan pemikiran Yunani. Filsafat Islam memiliki framework tersendiri.
Penggunaan prinsip-prinsip dasar logika dan filsafat sesungguhnya telah digunakan oleh para ulama terdahulu dengan dua tujuan.
Pertama, memecahkan problem-problem keilmuan dan konsep-konsep dasar dalam Islam. Penjelasan tentang sumber kebenaran, klasifikasi ilmu dan pemilahan ilmu-ilmu yang baik dan buruk menurut syariat dikaji dalam konteks pemikiran yang sekarang disebut filosofis.
Ketika para ulama membahas konsep ilmu, maka itu sudah dapat dikatakan pembahasannya masuk wilayah filsafat. Jadi, sesungguhnya filsafat dalam koridor Islam itu sudah menjadi bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kajian tentang konsep dan prinsip-prinsip ilmu dalam ilmu filsafat disebut epistemologi.
Kedua, para ulama mendalami prinsip-prinsip filsafat dalam rangka mengkritik dan mengoreksi pemikiran asing, yang tidak sesuai dengan konsep Islam.
Untuk itu, yang dipelajari adalah filsafat ‘asing’ dan filsafat yang Islami. Imam al-Ghazali telah melakukannya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan mendasar, Imam al-Ghazali mendalami terlebih dahulu prinsip-prinsip filsafat Yunani yang bertentangan dengan Islam.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengindentifikasi bahwa kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang pada dasarnya disebabkan merebaknya penyakit kekeliruan ilmu yang dialami kaum Muslim. Kesalahan ilmu dan kekurangan ilmu itu disebabkan invasi ilmu Barat yang sangat gencar menyerang jiwa dan kalbu kaum Muslimin (Syed MN. al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5).
Bahkan menurut al-Attas, bagi cendekiawan Muslim mempelajari peradaban (termasuk filsafat) Barat hukumnya fardlu kifayah. Sebab, tanpa mengetahuinya kita tidak mempu mengkritik dan membenahinya.
Tidak semua memang perlu mempelajarinya, menurut Imam al-Ghazali, itu hanya untuk orang yang berilmu, orang awam dilarang mempelajarinya. Artinya, ini bagi yang telah memiliki bekal dasar-dasar akidah, mantiq dan syariah yang kuat.
Untuk itu bagi kita yang mempelajari filsafat, hendaknya ditata niat baik-baik. Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) akhirat.
Artinya, niat untuk berjuang li i’laa’i kalimatillah. Kita juga perlu memakai framework Islam, bukan framework Barat. Hal ini berarti, pertama-tama akidah harus dikuatkan.
Karena, seperti petunjuk Imam al-Ghazali dan Syed al-Attas, bahwa kita mempelajari ilmu ini dalam rangka membela konsep-konsep Islam, menguatkan akidah umat.
Dengan framework Islam, filsafat menjadi alat mengokohkan akidah, bukan malah mendekonstruksinya atau menjadikan pluralis atau sekularis.
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya, alumni Pascasarjana ISID Gontor
Sumber: Hidayatullah.com