7 min read

Hakikat Ikhlas

Hakikat Ikhlas

Setiap sesuatu bisa ternoda oleh sesuatu yang lain. Jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari sesuatu selainnya yang kotor, maka ia dikatakan khalish (yang bersih). Pekerjaan membersihkan disebut ikhlash.

Susu dikatakan bersih apabila ia tidak dicampuri oleh darah atau setiap hal lain yang dapat mencampurinya. lawan dari ikhlas adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas maka ia musyrik, hanya saja syirik itu ada beberapa tingkatan.

Ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya ada di dalam hati dan berkenaan dengan niat dan tujuan.

Jika perbuatan hanya memiliki satu motif maka ia dikatakan ikhlas. dan istilah ikhlas disini berkaitan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah.

Lalu terkait dengan orang yang bertujuan taqarrub kepada Allah tetapi motivasi ini tercampur dengan unsur lain seperti riya’ atau kepentingan-kepentingan nafsu lainnya.

Misalnya orang yang berpuasa dengan motivasi agar langsing, disamping taqarrub itu sendiri. Atau orang yang berangkat umroh untuk berwisata. Atau orang yang mempelajari ilmu agar mendapatkan kewibawaan. Atau orang yang mengajar dan berceramah untuk merasakan kelezatan berbicara.

Atau orang yang berkhidmat kepada ulama agar mendapatkan kehormatan di sisi mereka dan di sisi manusia. Atau orang yang bershodaqoh kepada peminta-minta untuk menghentikan desakannya. Atau orang yang membesuk orang sakit agar ia dibesuk kala sakit.

Jika motivasi yang membangkitkannya adalah taqarrub kepada Allah tetapi tercampur dengan salah satu lintasan pikiran-pikiran ini kemudian pelaksanaannya terasa lebih ringan disebabkannya, maka sesungguhnya amal perbuatannya telah keluar dari batas ikhlas karena mencari keridhaan Allah bahkan telah tercemari oleh kemusyrikan. Kecuali dalam tujuannya yang lain itu terdapat niat yang baik sehingga masih diharapkan mendapatkan ganjaran terhadap amal perbuatannya.

Tidak setiap tujuan dalam suatu amal perbuatan dapat membatalkan amal. Karena itu, siapa yang berpuasa dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah dan mencapai kesehatan maka tidak merusak keikhlasannya. Bahkan jika kesehatannya itu ia niatkan untuk memperkuat diri dalam mengamalkan kebaikan maka pahalanya semakin bertambah.

Siapa yang sesaat saja dari umurnya dapat selamat secara murni karena mengharap ridha Allah maka sesungguhnya ia telah selamat. Ini karena kemuliaan ikhlas dan sulitnya membersihkan hari dari kotoran tersebut.

Pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan pengamalannya merupakan lautan yang dalam. Semua orang tenggelam di dalamnya kecuali sedikit, yaitu,

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. (al-Hijr:40)

Sehubungan dengan ikhlas ini Allah telah befirman di dalam Al-Qur’an,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisa’: 125).

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.

Allah juga befirman,

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا

“Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama’ah orang-orang Muslim, karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya’, berperang karena keberanian dan berperang karena kesatriaan, manakah di antaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau
menjawab, “Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah.”

Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari’ Al-Qur’an, mujahid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, “Fulan adalah qari’, Fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah”, yang amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.

Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri.

Orang yang ikhlas tidak riya’ dan orang yang shadiq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.

Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi. Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung dari pandangan terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas artinya menyelaraskan amal-amal hamba secara zhahir dan batin. Riya’ ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.

Al-Fudhail berkata, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya.”

Al-Junaid berkata, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya.”

Yusuf bin Al-Husain berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya’ dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain.”

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran.” Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan san-jungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, ikhlas ini ada tiga derajat:

  1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal.
    Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadanya.

Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana firman-Nya,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takkwir: 29).

Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannya yang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat.

Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21).

Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap amalnya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui dirinya sendiri.

Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amainya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata. Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak diminta orang yang merdeka atau budak orang lain. Sedangkan yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amalnya ada dua macam:

  • Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian syetan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan syetan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab, “Itu adalah rampasan yang diambil syetan dari shalat hamba.”

Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian syetan lebih banyak lagi. Ibnu Mas’ud berkata, “Seseorang di antara kalian tidak memberikan bagian kepada syetan dari shalatnya, sehingga syetan itu melihat ada hak atas shalat tersebut, melainkan karena dia menengok ke arah kanannya.”

  • Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adab adab zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu.

Orang yang memiliki ma’rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun ter hadap amalnya dan merasa malu jika Allah menerima amainya.

  1. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah.
    Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amalnya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu tetap diupayakan. Allah befirman,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al-Mukminun: 60).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menjelaskan maksud ayat ini,

“Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima.”

Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertai ketakutan dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya dan juga berbuat jahat.

Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karunia Allah dan bukan karena dirimu sendiri.

Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

  1. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.
    Perkataan, “Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal”, ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah.

Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menurut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasan batasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari.

Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah.

Tentang perkataan, “Membebaskan amal dari sentuhan rupa”, artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja.

Disadur dari:
Tazkiyatun Nafs, Sa’id Hawa
Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah