Hukum Pajak dalam Islam
Berikut penjelasan Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim, terkait hukum pajak dalam Islam.
Jika di Eropa yang bangunan teori ekonominya saja banyak mengadopsi dari Islam justru menemukan sisi baik dari peradaban perpajakan yang pastinya teorinya juga ia dapatkan dari Islam, lantas mengapa justru kita selaku umat Islam tidak bangga dengan peradaban itu?
Padahal, teori perpajakan Adam Smith (Abad ke-18) yang dituangkan dalam The Maxim of Taxation serta menjadi pedoman sistem perpajakan dunia modern sekarang justru banyak kemiripan dengan Kitab Al-Kharâj karya Abû Yûsuf al-Kûfi.
Inilah uniknya kita. Orang lain sudah jauh berlomba mengembangkan khazanah kita, justru kita selaku pewaris sah khazanah itu malah menolaknya. Bahkan sempat ada tulisan yang merekam hasil ceramah seorang ustadz dan mengharamkan pajak serta disampaikan di hadapan petugas perpajakan.
Sebuah dalil hadits yang dipergunakan oleh pihak yang mengharamkan pajak, adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَ رُوَ ُيْفِع بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: ‘Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan al-usyur kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya para penarik al-maksi (diazab) di neraka”(HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).
Sebenarnya hadits ini asalnya terdapat di dalam kumpulan kitab Dla’if al-Jâ’miah al-Shaghîr dan Dla’if al-Targhib. Namun, karena ada sanad lain yang dinilai shahih oleh Albani, yaitu sanad dari Hadits Ibn Lahi’ah dari Qutaibah, maka Albani kemudian memindahkannya dalam kumpulan hadits yang dinilainya shahih, yaitu Kitab Shahih al-Jâmi’ dan Kitab Shahîh al-Targhib. (Albani, Silsilatu al-Shahîhah 7, Riyadh: Al-Thab’ah li al-Tauzi’, tt.: 1198-1199).
Hadits lain yang dipakai sebagai hujah oleh para pengharam pajak, adalah sebagai berikut:
مهلا ياخالد فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ثم أمر بها فصلى عليها ودفنت
Artinya: “Pelan-pelan wahai Khalid! Demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, sungguh ia telah bertobat yang apabila seseorang pemungut “maksin” bertobat dengan cara itu, maka pasti ia akan diampuni. Lalu Nabi SAW memerintahkan agar jenazah perempuan itu dishalatkan dan dikuburkan.” (Hadits Riwayat Imam Muslim No. 1695, Ahmad No. 16605, Abû Dawud No. 4442, Baihaqi No, 221).
Dari kedua hadits tersebut, pihak yang mengharamkan pajak memaknai kalimat صاحب مكس sebagai “petugas penarik pajak.” Jadi, kata kuncinya, adalah apakah benar bahwa maksun sama dengan pajak? Mari kita uji dalam literatur lain!
Menurut Majelis Fatwa Tunisia, memberi pengertian “al-maksu” sebagai:
المكس هو جباية وضريبة كانت موضوعة على السلع في الجاهلية وكانت من التسلط الظالم وأخذ أموال الناس بغير حق
Artinya: “Al-maksu adalah pungutan atau tarikan yang ditetapkan atas suatu harta dagangan pada masa jahiliyah. Itu termasuk kategori perbuatan penguasaan yang dhalim dan termasuk pula sebagai perbuatan mengambil harta orang lain tanpa hak.”
Masih menurut Majelis Fatwa Tunisia tersebut, diberikan penjelasan sebagai berikut:
والذي جرى العرف في بلادنا أنهم يطلقون المكس على ما يأخذه مكتري السوق ممن ينتصبون لبيع منتوجتهم لكن لما كان هذا المال الذي يدفعه العارض لاينتفع به شخص معين وإنما هو مال يصرف في المصالح العامة إسهاما من العارضين في ميزينية البلدنية أو الدولة ولما كانت البلدية أو الدولة ميزانها مضبوطا صرفا وقبضا ومراقبا من مؤسسات قائمة على حسن التصرف فإنه بذلك يكون المال المأخوذ جاريا مجرى الضرائب التي تدفع من الأفراد إلى الدولة لتقوم بمصالحهم وهي بذلك جائزة لاحرمة فيها
Artinya: “Urf yang berlaku di negara kita (Tunisia) yang sering disebut sebagai al-maksi adalah harta yang dipungut oleh petugas pasar dari orang-orang yang menjual barang produksi mereka. Apabila harta pungutan tersebut diserahkan secara insidentil dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu melainkan ditasarufkan untuk kemaslahatan umum seperti membiayai kegiatan-kegiatan insidentil terukur oleh wilayah atau negara, dan apabila wilayah atau negara menetapkan aturannya yang mencakup besaran, tujuan hendak dipergunakan, penerimaannya serta diawasi oleh badan-badan khusus sehingga penyalurannya dapat berlangsung baik, maka harta sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka termasuk bagian dari iuran yang dibayarkan oleh individu kepada negara agar tercapai kemaslahatan. Hukum dari iuran / pungutan seperti ini adalah boleh serta tidak haram.” (Lihat http://www.di.tn/DetailsFatwa.aspx?FatawaId=24&CategorieId=6).
Dengan menyimak apa yang disampaikan oleh Majelis Fatwa Tunisia di atas, maka disimpulkan bahwa ada perbedaan antara al-maksu yang dipungut dan berlaku pada zaman jahiliyah dengan al-maksu (dlaraib) yang dipungut oleh negara. Letak bedanya ada pada status legal formalnya al-maksu menurut negara atau tidak. Jika ada legal formal menurut negara dengan ditetapkan besarannya, serta diawasi penyalurannya, maka al-maksu seperti ini tidak disebut sebagai pungutan liar. Istilah kontemporer menyebutnya sebagai Pajak. Berbeda dengan al-maksu yang diambil oleh perorangan pada zaman jahiliyah (sebagaimana disampaikan dalam hadits di atas), maka al-maksu semacam disebut dengan al-maksu yang haram karena tergolong pungutan liar (pemalakan).
Imam al-Nawâwi sebagaimana dikutip dalam kitab Futûhâtu al-Rabbâniyah ala al-Adzkâri al-Nawâwiyah menjelaskan pengertian al-maksu sebagai berikut:
المكس الضريبة التي يأخذها الماكس
Artinya: “Al-Maksu adalah pungutan yang diambil oleh pemungut liar.” (Lihat Muhammad ibn Ali al-Bakri al-Syâfi’i, Futûhâtu al-Rabbâniyah ala al-Adzkâri al-Nawâwiyah, juz 7, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyah, tt.: 84). Sampai di sini jelas sudah bahwa yang dinamakan al-maksu menurut terma dasarnya adalah bermakna pungutan liar. Adapun pajak tidak bisa dikategorikan sebagai al-maksu, sebab ada aturan yang ditetapkan oleh negara atas pihak wajib pajak.
Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Ustadz Ahmad Sarwat juga menjelaskan hukum membayar pajak bagi seorang Muslim adalah wajib bila dikembalikan pada hukum dasarnya, meskipun tidak termasuk kewajiban diniyah. "Kewajiban membayar pajak kira-kira sama dengan kewajiban sosial ekonomi lainnya, seperti kalau kita naik bus, harus bayar. Juga kita harus bayar rekening listrik, telepon, air dan lainnya," katanya dilansir dari laman resmi RFI. Berikut penjelasan lengkap beliau.
A. Pengertian
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan berbagai nama dan sebutan, dimana masing-masing punya pengertian sendiri-sendiri. Istilah-istilah yang dimaksud adalah :
1. Al-‘Usyr
Istilah al-‘usyr (الْعُشْرُ) secara bahasa berarti sepersepuluh. Dalam prakteknya, sepersepuluh yang dimaksud adalah nilai harta yang dipungut dari pedagang, atau dari hasil bumi. Pihak yang memungut nilai sepersepuluh itu disebut dengan al-asysyaar (العشّار).
2. Al-Maks
Istilah al-maksu (الْمَكْسُ) secara bahasa bermakna an-naqshu (النقص), yaitu pengurangan, dan juga bermakna adz-dhulmu (الظلم), yaitu penzaliman atau perampasan.
Sedangkan secara istilah makna al-maksu sebagaimana disebutkan di dalam kamus Al-Muhith adalah :
دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ مِنْ بَائِعِي السِّلَعِ فِي الأْسْوَاقِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Uang-uang dirham yang dipungut dari para penjual barang di pasar di masa jahiliyah.
Di dalam kamus Al-Mu'jam Al-Wasith disebutkan makna al-maksu adalah :
الضَّرِيبَةِ يَأْخُذُهَا الْمَكَّاسُ مِمَّنْ يَدْخُل الْبَلَدَ مِنَ التُّجَّارِ
Pajak yang dipungut oleh pemungutnya dari para penjual yang masuk ke dalam negeri.
Orang yang melakukan pemungutannya disebut dengan al-makkas (المَكاَّسُ) atau al-makis (اَلمَاكِسُ).
3. Adh-Dharibah
Istilah adh-dharibah (الضَّرِيْبَةُ) artinya pajak atau pungutan. Sering didefinisikan sebagai :
الماَلُ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الأْرْصَادِ وَالْجِزْيَةِ وَنَحْوِهَا
Harta yang dipungut dari sumber-sumbernya atau dari jizyah dan lainnya.
4. Al-Kharaj
Istilah al-kharaj (الْخَرَاجُ) dari kata kharaja yang bermakna keluar. Secara istilah, yang dimaksud al-kharaj sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi adalah :
مَا وُضِعَ عَلَى رِقَابِ الأْرَضِينَ مِنْ حُقُوقٍ تُؤَدَّى عَنْهَا
Apa yang ditetapkan atas pemilik tanah dalam bentuk pungutan yang harus ditunaikan.
B. Pendapat Yang Mengharamkan
1. Dalil-dalil
Kalangan yang mengharamkan pajak berhujjah dengan dalil-dalil yang umum dan khusus. Di antara dalil yang masih bersifat umum misalnya firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”(QS. An-Nisa’ : 29)
Menurut pandangan mereka, pajak itu termasuk memakan harta sesamanya dengan jalan yang batil, sehinga hukumnya haram. Pandangan ini dikuatkan lagi dengan hadits berikut :
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak diadzab di neraka. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits inilah yang acap kali digunakan untuk mengharamkan memungut pajak, dan juga sebagai dalih untuk tidak bayar pajak. Serta untuk mengharamkan secara total apa-apa yang berbau pajak. Dan ancamannya juga tidak main-main, yaitu api neraka yang pedih.
2. Pendapat Para Ulama
a. Al-Imam An-Nawawi
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam atas zina yang dilakukan oleh seorang wanita dari Bani Ghamidiyah. Setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid radhiyallahuanhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah SAW bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi SAW memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi SAW menshalatinya, lalu dikuburkan” (HR Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa hikmah yang agung diantaranya bahwasa pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan pelakunya, hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti.[1]
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa para petugas yang ditugaskan untuk mengambil uang denda yang wajib dibayar di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu gerbang kota, dan apa-apa yang biasa dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.[2]
Maka tidak mengherankan kalau banyak kalangan ikut-ikutan juga mengharamkan pajak. Sebab dalil-dalilnya secara lahiriyah memang demikian, apalagi juga banyak pendapat para ulama salaf yang ikut mengharamkannya.
C. Pendapat Yang Menghalalkan
Adapun pendapat yang menghalalkan pajak berhujjah bahwa dalil-dalil di atas itu tidak tepat untuk diterapkan pada pajak yang berlaku di masa sekarang. Alur logikanya sebagai berikut :
1. Pajak Bukan Pemerasan
Pungutan yang dimaksud di dalam dalil-dalil di atas memang haram, karena merupakan pemerasan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Dalil-dalil di atas lebih tepat untuk diterapkan pada zaman jahiliyah di masa sebelum kenabian, namun setelah kedatangan risalah Islam, pajak masih ada meski dengan syarat-syarat tertentu.
Kalau dibandingkan dengan masa kini, maka pajak yang haram itu bisa ditetapkan pada masa penjajahan, yaitu ketika pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan memungut pajak yang memeras keringat dan darah rakyat. Dan oleh karena itulah maka rakyat negeri ini berjihad secara fisik untuk mengusir penjajah, yang pada intinya mereka tidak lain adalah para pemungut pajak.
Di masa sekarang ini, meski pajak dikenakan kepada rakyat, tetapi dilaksanakan oleh negara atas dasar kebutuhan dan juga atas persetujuan dari perwakilan rakyat. Jadi pajak di masa sekarang sifatnya disesuaikan dengan kemampuan. Misalnya pajak barang mewah, tentu hanya dikenakan pada kalangan yang memiliki barang mewah. Rakyat jelata yang miskin tentu tidak dikenakan.
Kalau kita makan di warung pinggir jalan, harganya sangat murah, karena tidak dikenakan pajak. Sebaliknya, harga makanan di restoran bintang lima menjadi berkali lipat, salah satu faktornya karena dikenakan pajak.
2. Pajak Kembali Untuk Rakyat
Berbeda dengan pungutan di masa lalu yang diharamkan, maka pajak pada hari ini pada prinsipnya lebih merupakan kesepakatan di antara rakyat untuk sama-sama membiayai penyelenggaraan negara. Jadi prinsipnya uang pajak dari rakyat itu pasti akan dikembalikan kepada rakyat, dan demi kepentingan rakyat.
Ibarat iuran keamanan dan kebersihan di lingkungan tempat tinggal kita, setiap bulan masing-masing rumah dipungut iuran yang digunakan untuk membayar satpam dan petugas kebersihan. Tentu semua demi keamanan dan kebesihan lingkungan. Maka kita tidak mungkin mengatakan bahwa iuran keamanan dan kebersihan sebagai pembayaran yang haram. Justru sebaliknya, pembayaran itu malah wajib hukumnya.
3. Ada Kewajiban Harta Selain Zakat
Pihak-pihak yang mengharamkan pajak sering berdalil bahwa tidak ada kewajiban dalam urusan harta kecuali zakat.
لَيسَ فيِ الماَلِ حَقُّ سِوَى الزَّكاَة
Namun pengertian hadits di atas tentu tidak tepat kalau kita terapkan secara acak-acakan. Kalau begitu, nanti orang yang berhutang tidak mau bayar hutanya, dengan alasan bahwa agama hanya mewajibkan kita membayar zakat dan bukan membayar hutang.
Begitu juga, orang yang bernadzar untuk memberikan hartanya di jalan Allah, juga akan membatalkan niatnya, hanya karena alasan bahwa harta yang wajib ditunaikan hanya terbatas zakat saja.
Orang yang melanggar suatu aturan lalu ditetapkan kaffaratnya, bisa saja mangkir tidak mau bayar, dengan alasan yang sama. Maka denda kaffarat seperti menyembelih kambing, atau memberi makan 60 fakir miskin, atau membebaskan budak, dan yang lainnya, tentu bisa saja dibatalkan, apabila kita keliru dalam memahami dan menerapkan hadits di atas.
Sesungguhnya makna hadits di atas hanya ingin menetapkan bahwa pada dasarnya kewajiban dasar dalam Islam adalah zakat. Adapun bila terjadi kasus dimana seseorang berhutang, tentu saja dia wajib bayar hutang. Begitu juga kalau kita sepakat untuk menjadi warga suatu negara dan telah ditetapkan bahwa di antara kewajiban kita sebagai warga negara adalah membayar pajak, tentu dengan mudah kita pahami bahwa kewajiban itu harus kita akui.
Ibarat kita mau bepergian menumpang pesawat, maka sebagai penumpang, tentu kita wajib membayar tiket. Kita tidak bisa naik pesawat gratisan, dengan alasan bahwa Islam tidak mewajibkan kita membayar apapun kecuali bayar zakat.
D. Pendapat Pertengahan
Pendapat yang dipertengahan tidak mengharamkan pajak secara keseluruhan, tetapi juga tidak menghalalkan secara keseluruhan. Dalam pandangan pendapat ketiga ini, tidak semua jenis pajak itu merugikan atau merupakan penzaliman. Sebagian dari pajak itu ada yang memang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Maka batasan halal dan haramnya pajak disebutkan sebagai berikut :
1. Dilakukan Oleh Pemerintah Yang Sah dan Adil
Pajak atau pungutan yang haram adalah yang sifatnya liar, dipungut oleh oknum diluar ketentuan yang telah ditetapkan.
Pungutan liar yang dilakukan oleh preman termasuk ajak yang haram. Demikian juga meski dipungut oleh petugas negara, tetapi di luar batas wewenangnya adalah pungutan yang haram hukumnya.
2. Tidak Mencekik Rakyat
Pajak yang sifatnya mencekik rakyat miskin, sehingga membuat kehidupan mereka yang sudah susah jadi bertambah susah, merupakan bentuk kezaliman yang nyata.
Meski pajak itu ditetapkan oleh pemerintah yang sah, namun bila sampai mencekik rakyat, maka pada dasarnya pajak itu sebuah kezaliman yang haram hukumnya.
3. Sepenuhnya Digunakan Untuk Kepentingan Rakyat
Apabila pajak yang dipungut oleh pemerintah kemudian diselewengkan penggunaannya, maka meski pajak itu resmi namun sama saja dengan penzaliman atas harta rakyat. Maka dalam kasus seperti ini, pajak bisa saja menjadi sesuatu yang zalim juga.