Hukum Pembiayaan (Leasing) Syariah
Perbedaan mendasar antara leasing (pembiayaan) syariah dengan leasing konvensional adalah pembiayaan syariah itu penjual, sedangkan pembiayaan konvensional adalah kreditur.
Sebagai kreditur, pembiayaan konvensional memberikan pinjaman kepada konsumen. Dengan pinjaman tersebut, konsumen membeli kendaraan dari dealer atau supplier. Selanjutnya, membayar cicilan kepada pembiayaan konvensional.
Transaksi tersebut tidak diperkenankan karena total angsuran yang harus dibayarkan oleh konsumen kepada pembiayaan konvensional melebihi pokok pinjaman. Hal tersebut termasuk bunga/riba jahiliyah sesuai dengan kaidah; "Setiap manfaat yang diterima oleh kreditur atas jasa pinjamannya kepada debitur itu termasuk riba." (Al-Mushannaf, Abdurrazzaq, 8/304.)
Berbeda dengan pembiayaan syariah, transaksi antara perusahaan dengan konsumen adalah jual beli dan pendapatan yang diterima perusahaan adalah margin yang halal.
Transaksi tersebut adalah jual beli, sehingga pendapatan yang diterima perusahaan adalah margin yang halal; bukan bunga/riba atas utang piutang. Karena jual beli berbeda dengan riba, di mana riba terjadi pada utang piutang (salah satunya meminjam uang dan dibayar dengan uang).
Sedangkan, dalam jual beli murabahah di pembiayaan syariah itu transaksi antara uang dengan barang. Oleh karena itu, jual beli tidak tunai, bukan riba dan tidak ada hubungannya dengan riba.
Pada umumnya, perusahaan tidak memiliki stok barang, maka ada dua tahapan transaksi berikut:
Tahapan pertama, perusahaan membeli barang (sesuai pesanan konsumen) kepada supplier yang diawali dengan pesanan konsumen dengan spesifikasi barang tertentu.
Pesanan ini mengikat, jika konsumen membatalkan pesanan dan mengakibatkan kerugian, konsumen mengganti sebesar kerugian riil sebagaimana Fatwa DSN MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah dan Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
Sebagai penjual, perusahaan harus telah memiliki barang yang akan dijual kepada konsumen dengan membeli barang dari supplier, baik tunai ataupun tidak tunai walaupun dengan sekadar ijab kabul sebagaimana fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Jika transaksi yang terjadi adalah purchase order oleh perusahaan kepada supplier, isi purchase order tersebut harus berisi ijab kabul dengan seluruh konsekuensi hukumnya, sehingga barang menjadi milik perusahaan dan bisa dijual kepada konsumen.
Tahapan kedua, perusahaan menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga lebih besar sesuai kesepakatan dengan menegaskan harga beli ditambah biaya-biaya perolehan dan keuntungan. Transaksi tersebut dilakukan dengan barang diserahkan secara tunai dan pembayaran dilakukan secara angsur atau tidak runai.
Butir-butir jual beli tersebut dituangkan dalam akad yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagaimana fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah dan Fatwa No.111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah, Standar Syariah Internasional AAOIFI di Bahrain no.8 tentang Murabahah, dan Keputusan Lembaga Fikih OKI tentang Bai' Taqsith.
Transaksi jual beli tidak tunai tersebut termasuk jual beli yang diberkahi, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Ada tiga hal yang mengandung berkah; jual beli secara tidak tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
Semoga, Allah SWT meridhai dan memberkahi setiap ikhtiar kita. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI