Uzlah, Jalan Suci Obat Hati
Wali adalah gelar yang diberikan kepada orang yang mendapat kedekatan khusus dengan Allah SWT. Ada empat hal pokok yang bisa mengantarkan seseorang menjadi kekasih Allah SWT; Khalwah/’uzlah (menghindari keramaian orang) sumthu (diam), dan sahr (tidak tidur malam).[1] Rasulullah sendiri sering menyendiri di gua Hira sebelum masa kenabian.
Banyak para tokoh sufi yang cepat mencapai derajat kewalian melalui ‘uzlah. Ibnu Athaillah juga lebih menekankan ‘uzlah sebagai sarana yang paling efisien untuk menyatukan pikiran dengan Allah SWT, sehingga seorang sâlik dapat all out dalam beribadah.[2]
Kenapa Harus ‘Uzlah?
Secara etimologi ‘uzlah berarti menghindar dari sesuatu. Secara terminologi ‘uzlah adalah membebaskan diri dari masyarakat menuju kahadirat Allah SWT. Urgensitas ‘uzlah dalam proses sulûk dapat dilihat dari manfaat yang diberikan pada setiap orang yang menjalankannya. Terbebasnya seseorang dari berbagai kesibukan duniawi menjadi kesempatan untuk mendedikasikan diri dan seluruh waktunya untuk beribadah secara total.
Di samping itu, ‘uzlah merupakan sarana yang dapat mengantarkan untuk intropeksi diri. Seseorang yang ber’uzlah, juga akan memiliki banyak waktu dalam berinteraksi dengan Allah SWT dan merenungkan ayat Allah SWT tanpa terpengaruh penyakit hati. Karena itulah orang yang berkeinginan merealisasikan ibadah secara sempurna mesti memiliki waktu-waktu kosong dan juga menghindari bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Sirâjuth-Thâlibîn mengungkapkan beberapa alasan kenapa seorang sâlik harus memisahkan diri dari khalayak ramai (‘uzlah).
1). Bergaul dengan khalayak ramai dapat menyebabkan lalai beribadah. Ini sangat bisa kita rasakan. Saat kita berkumpul dengan orang lain, maka kita juga harus melaksanakan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kita. Sehingga, kadang-kadang kita lalai terhadap kewajiban kita terhadap Allah SWT.
2). Berkumpul dengan banyak orang bisa menyebabkan ibadah yang dilakukan akan terjangkit penyakit hati, seperti riyâ` (ingin dilihat baik), ‘ujub (kagum dengan dirinya), dan takabbur (sombong). Sebagaimana kita ketahui bahwa Ikhlas dalam beribadah adalah syarat diterimanya amal. Untuk mencapai ikhlas ini kita harus memproteksi hati agar terhindar dari berbagai penyakit hati. Di antara usaha yang sangat baik adalah dengan cara ber-‘uzlah. Dengan ber-‘uzlah, maka segala yang kita kerjakan murni karena Allah SWT, karena memang di samping kita tidak ada orang lain.
3). Terbebas dari fitnah, permusuhan antar muslim, dan fanatisme golongan/bangsa. Seseorang yang mengasingkan diri dari masyarakat secara tidak langsung berarti ia membentengi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang mengundang munculnya fitnah, permusuhan antar sesama manusia, dan fanatisme golongan/bangsa. Namun, dalam ber-’uzlah kita harus menyakini bahwa masyarakat sekitar kita yang akan terhindar dari kejahatan yang kita perbuat, bukan justru beranggapan bahwa dirinya yang akan terhindar dari kejahatan mereka. Karena kalau dia masih merasa bahwa masyarakat yang akan membahayakan dirinya, maka berarti di hatinya masih terdapat virus ‘ujub.
Faedah ‘uzlah yang paling penting adalah peluang untuk dapat bertafakkur dengan tenang. Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Hikam-nya mengatakan
مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْئٌ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيدَان فِكْرَةٍ
“Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat terhadap hati, sebagaimana ‘uzlah dalam memasuki medan bertafakur”
Menurut Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi tujuan utama dari ‘uzlah adalah tafakkur. Bahkan menurut beliau, manfaat ‘uzlah tidak akan sempurna kecuali dengan menyibukkan hati dengan proses tafakkur.[3] Ummu Darda’ pernah ditanya mengenai amal Abu Darda` yang paling utama. Maka dia menjawab ‘tafakkur’. Bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa “Berfikir sesaat lebih baik dari beribadah selama 70 tahun”.[4]
Imam Hasan Bashri berkata, “Tafakur itu merupakan cermin yang bisa memperlihatkan kepadamu akan kebaikanmu dari pada keburukanmu. Dengan cermin itu pula orang bisa menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dengan ber-’uzlah yang disertai tafakkur, kita bisa lebih banyak berintropeksi diri sehingga bisa menghilangkan penyakit hati yang kita punya”.
‘Uzlah tidak Harus Selamanya
Mengingat peran penting ‘uzlah, mungkin di antara kita ada yang beranggapan bahwa kita dianjurkan untuk melakukan ‘uzlah selamanya? Menurut DR. Said Ramadhan al-Buthi ‘uzlah tidak untuk dilakukan selamanya. Namun, ‘uzlah merupakan suatu cara atau bentuk latihan kerohanian yang berfungsi memantapkan hati supaya akal mampu menerima pancaran cahaya kalbu. Sehingga, jika seseorang telah selesai dalam proses tafakkurnya dan hatinya sudah terbiasa bebas dari virus hati, maka dia dianjurkan untuk berkumpul lagi dengan masyarakat. Wal-Lâhu a`lam.
Penulis: Ahmad Nizar Zulmi
Sumber: sidogiri.net
Catatan:
[1] Syaikh Ibnu Ubbad ar-Randi An-Nafazi, Syarhul Hikam Hal. 16
[2] Ibid hal.17
[3] DR. Said ramadhan al-Buthi, Al-Hikam al-Athâ’iyyah Syarh wa Tahlîl, hal. 169
[4] Hujjatul Islam Imam Ghazali, Ihya` Ulûmud-Din, hal.449