4 min read

Akhlak dalam Mengambil Atau Menolak Pendapat Ulama

Akhlak dalam Mengambil Atau Menolak Pendapat Ulama

Di dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu syariah dan dakwah, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama itu lumrah, bahkan seharusnya bisa memperkaya wawasan dan pilihan dalam menghadapi berbagai kondisi yang terus berkembang dan berubah. Tetapi sikap fanatik buta dalam mengambil atau menolak pendapat ulama seringkali bisa merusak suasana keilmuan, terutama jika disertai dengan celaan dan tuduhan negatif terhadap ulama yang berbeda pendapat dengan ulama yang diikutinya. Bahkan muncul sikap monopoli hak, saya berhak mengikuti ulama panutan saya sedangkan orang lain tidak berhak mengikuti ulama panutan mereka. Karena ulama saya yang paling benar sedangkan ulama orang lain pasti salah bahkan bukan ulama.

Tulisan singkat berikut ini bermaksud mengingatkan dan meluruskan sikap fanatik buta terhadap pendapat ulama dan memperingatkan agar tidak mudah mencela dan menuduh mereka dengan tuduhan negatif, sekalipun tidak ada ulama yang makshum, tetapi daging nereka itu beracun sehingga kita harus berhati-hati dan tidak mudah menuduh dan mencela ulama.

1- Kamu punya hak mengambil pendapat dalam masalah fikih dan lainnya dari para ulama seperti al-Albani, Bin Baz, al-Utsaimin dan lainnya, semoga Allah merahmati mereka semua. Karena mereka itu ulama dan bukan orang-orang bodoh. Tetapi kamu tidak punya hak melarang orang lain untuk mengambil pendapat ulama selain mereka, karena mereka itu juga ulama, baik yang bernama Malik, Ibnu Hazm, Ibnu al-Qayyim, al-Qaradhawi, Ibnu Taimiyah, asy-Syatibi dan lainnya. Tidak ada dalil dari al-Quran, Sunnah, ijma’, qiyas atau pun sumber tasyri’ lainnya yang disepakati atau pun yang diperselisihkam bahwa al-Albani, Bin Baz, al-Utsaimin dan lainnya itu ulama, sedangkan para ulama selain mereka itu bukan ulama.

2- Kamu berhak mengambil pendapat yang diperselisihkan oleh al-Albani, Bin Baz, al-Utsaimin dan lainnya, sesuai kemantapan hatimu tanpa takut kepada hisab Allah atau hisab manusia, dan tanpa takut celaan hati nuranimu baik sedikit atau banyak. Kamu punya hak untuk mengambil pendapat yang kamu merasa yakin dan tenang tanpa takut ditanya Allah, “Kenapa kamu mengambil pendapat al-Albani dan tidak mengambil pendapat Bin Baz?” Atau, “Kenapa kamu mengambil pendapat Bin Baz dan tidak mengambil pendapat al-Utsaimin?” Di sini kamu tidak perlu takut ditanya Allah, karena dalam semua keadaan tersebut kamu mengambil pendapat ulama.

Tetapi kamu tidak punya hak melarang orang lain untuk melakukan hal yang sama, bukan saja antara mengambil pendapat al-Albani atau Bin Baz atau al-Utsaimin dan lainnya, tetapi juga antara pendapat semua ulama Islam selain mereka, baik ulama di masa dahulu atau ulama di masa sekarang. Baik antara pendapat al-Buthi dan pendapat al-Albani, atau antara pendapat al-Qaradhawi dan pendapat Bin Baz, dan ulama lainnya… Kamu tidak berhak melarang orang lain untuk mengambil pendapat seorang ulama Islam dalam suatu masalah khilafiyah sesuai kemantapan hatimu tanpa takut ditanya Allah, “Kenapa kamu mengambil pendapat al-Albani dan tidak mengambil pendapat al-Buthi?” Atau, “Kenapa kamu mengambil pendapat al-Qaradhawi dan tidak mengambil pendapat Bin Baz?” Di sini ia tidak perlu takut ditanya Allah, karena pendapat mana pun yang diambilnya ia mengikuti ulama. Bukankah hal ini sesuai tuntunan syariah dan akal sehat?

3- Kamu berhak menganggap al-Albani, Bin Baz dan al-Utsaimin sebagai ulama mujaddid (pembaharu) di abad duapuluh, tetapi kamu tidak berhak melarang oramg lain untuk menganggap Hasan al-Banna, Sayid Quthb, al-Qaradhawi, al-Maududi, an-Nadawi, asy-Syinqithi, Sayid Sabiq, atau al-Izz bin Abdus Salam sebagai ulama mujaddid juga di abad sekarang atau abad lalu? Kenapa?

Karena, pertama: Mereka itu semua sama-sama ulama.
Kedua, tidak ada dalil yang kuat 100% bahwa mereka itu benar-benar ulama mujaddid sedangkan ulama selain mereka bukan mujaddid. Kamu dan orang lain sama-sama tidak punya dalil dalam masalah ini.

4- Kamu punya hak merasa lebih tenang dengan pendapat al-Albani, Bin Baz atau al-Utsaimin, karena menurutmu mereka itu lebih wara’ atau lebih alim dari ulama lain. Tetapi kamu tidak punya hak melarang orang lain untuk menganggap al-Qaradhawi, al-Maududi, an-Nadawi, al-Buthi, az-Zandani, Muhammad al-Ghazali, asy-Syaukani, atau Ibnu Hazm lebih wara’ dan lebih alim dari ulama lain. Kenapa? Karena mereka itu semua ulama. Juga karena tidak ada dalil syar’i yang menyatakan bahwa mereka itu takut kepada Allah dan punya ilmu banyak sedangkan selain mereka tidak takut Allah dan tidak punya ilmu banyak.

5- Kamu berhak merasa lebih tenang dengan pendapat al-Albani, Bin Baz atau al-Utsaimin tetapi kamu tidak berhak mengkultuskan mereka dengan menganggap mereka tidak punya salah dan dosa seperti para Nabi.

6- Kamu berhak merasa lebih tenang dengan pendapat al-Albani, Bin Baz atau al-Utsaimin tetapi kamu tidak berhak marah jika kamu mendengar atau melihat ulama lain mengkritik salah seorang dari mereka atau menilai pendapatnya salah dalam masalah tertentu. Karena para ulama, semua ulama, sekalipun punya kedudukan sangat mulia di sisi Allah tetapi mereka tetap manusia yang bisa benar dan bisa salah. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang bebas dari kesalahan. Kamu tidak punya dalil yang menyatakan bahwa al-Albani, Bin Baz atau al-Utsaimin dijamin masuk suga sedangkan ulama lain dijamin masuk neraka. Demikian pula sebaliknya, sama-sama tidak ada dalilnya.

8- Kamu berhak marah jika ada seseorang mencela al-Albani, Bin Baz atau al-Utsaimin tetapi kamu tidak berhak melarang orang lain untuk marah jika ada seseorang mencela al-Qaradhawi, al-Buthi, Sayid Quthb atau Hasan al-Banna.. Tidak ada dalil qath’i bahwa mereka itu tidak boleh dicela dan apabila ada yang mencela mereka maka seorang muslim wajib marah, sedangkan ulama lain boleh dicela dan apabila ada orang yang mencela mereka maka kita harus diam saja bahkan harus ikut mencela mereka. Membeda-bedakan para ulama seperti ini tidak boleh, karena daging para ulama itu semuanya sama-sama beracun. Kita berlindung kepada Allah dari mencela mereka.

9- Kamu berhak marah jika mendengar seseorang mencela seorang ulama seperti al-Albani, Bin Baz, al-Utsaimin dan lainnya karena mencela ulama itu haram. Mencela muslim biasa saja haram apalagi mencela ulama.

• Tetapi kamu tidak berhak marah jika mendengar seseorang menilai dengan santun dan dengan argumen yang kuat bahwa pendapat al-Albani atau Bin Baz salah. Karena tidak ada ulama yang makshum. Disamping karena ulama yang salah dalam berijtihad tetap mendapat pahala.

• Tetapi kamu tidak berhak tidak marah jika mendengar seseorang mencela ulama lain seperti al-Buthi, al-Qaradhawi, asy-Sya’rawi atau Hasan al-Banna. Kenapa? Karena tidak ada dalil yang menyakan bahwa mereka itu bukan ulama dan bahwa daging mereka tidak beracun sehingga boleh dicela.

10- Kamu berhak tidak mau membaca buku-buku ulama tertentu karena merasa tidak sreg dengan sebagian pendapat mereka, tetapi kamu tidak berhak melarang orang lain untuk membaca buku-buku mereka, karena mereka itu ulama yang kebaikan mereka lebih banyak dari keburukan mereka. Juga karena mereka itu berijtihad dalam agama atau dalam dakwah; jika benar mendapat dua pahala dan jika salah mendapat satu pahala.

Diterjemahkan oleh aunur rafiq saleh dari buku :
من حقك .. و ليس من حقك ..لعبد الحميد رميته ص ٣-٦

dengan sedikit penyesuaian dari Editor Terminal Salikin