4 min read

Apakah Setiap Manfaat yang Diambil dari Transaksi Pinjam Meminjam Itu Riba ?

Apakah Setiap Manfaat yang Diambil dari Transaksi Pinjam Meminjam Itu Riba ?

Ada hadits Nabi yang berbunyi :

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan maka itu riba”

Hadits ini dari segi sanad sangat lemah (dho’if jiddan), bahkan Imam Bukhori (w 256) malah mengatakan bahwa hadits ini munkar[1], namun meski begitu, dari segi matan hadits ini sesuai dengan dlail-dalil lain baik dari al-Qur’an, hadits lain yang serupa, ijma, atsar sahabat maupun rasionalitas, yang semuanya menunjukan keharaman mengambil manfaat atau keuntungan bagi si pemberi pinjaman dari sebuah pinjaman yang dia berikan. Kesimpulannya : tidak setiap hadits dhoif atau munkar itu ditinggalkan atau tidak dipakai.

Kedua, Kemudian apa itu yang dimaksud dengan qordh (pinjaman) menurut para fuqoha ?

Sebenarnya ada banyak redaksi untuk mendefinisikan apa itu qordh, bahkan setiap madzhab punya redaksi sendiri, namun walau redaksinya berbeda-beda maksudnya tetap itu-itu juga. Dalam madzhab Syafi’i misalnya disebutkan definisi qordh sebagai berikut :

تمليك الشيء على أن يرد مثله

“memiliki sesuatu (dari orang lain) dengan mengembalikan gantinya (yang sesuai dengan yang dipinjam)”[2]

Bahasa contohnya: kang Emus memiliki uang seratus ribu dari wakidi dengan cara dia nanti mengembalikan uang seratus ribu juga ke wakidi. Gampangnya : kang Emus pinjem duit seratus ribu dari wakidi.

Balik ke contoh kasus, apakah kang Emus yang nitip beli martabak itu akadnya pinjam uang ke wakidi apa tidak ? karena definisi qordh sendiri : pinjam uang diganti uang yang senilai, sedangan kang Emus mintanya, wakidi beliin martabak buat dia, bisa jadi akadnya wakalah (perwakilan) beli martabak, bukan DPR ya… he

Oke lah anggap saja kang Emus memang pinjam uang wakidi buat beli martabak, berarti disini sudah terjadi akan pinjam meminjam, qordh.

Ketiga, apakah setiap manfaat dari proses pinjam meminjam adalah riba ?

Sebelum ke jawaban inti, kita harus tau dulu definisi manfaat dalam konteks “pinjaman” menurut para fuqoha, apakah mutlak setiap manfaat, atau manfaat tertentu.

Dr. Abdullah bin muhammad al-‘imroni (anggota dari haiah tadris fakultas syariah di Riyadh) dalam kitabnya “Al-Manfaah fi al-Qordh” setelah membahas panjang lebar definisi manfaat dari berbagai perspektif, mulai dari perspektif fuqoha sampai perspektif ilmu ekonomi, menyimpulkan, bahwa definisi manfaat dalam konteks qordh adalah :

الفائدة أو المصلحة التي تعود لأحد أطراف عقد القرض بسبب هذا القرض

“suatu keuntungan atau kemaslahatan yang diperoleh oleh salah satu pihak dalam transaksi pinjam meminjam, yang keuntungan tersebut terjadi sebab adanya transaksi ini”

Maksudnya, keuntungan yang didapat oleh si pemberi pinjaman atau si peminjam itu ada dan terjadi disebabkan oleh adanya transaksi itu sendiri. Contohnya : saya meminjamkan uang sepuluh ribu kepada teman, kemudian saya meminta ganti dua belas ribu, saya berhak mendapat keuntungan dua ribu karena saya sudah berbaik hati meminjamkan uang saya kepada teman saya itu. Keuntungan inilah yang dimaksud dengan manfaat.

Kembali ke contoh kasus, apakah manfaat yang diperoleh Wakidi karena sudah membeli martabak titipan kang Emus itu murni karena disebabkan transaksi meminjamkan uang apa tidak ? karena bisa jadi, makan bersama itu merupakan kebiasaan mereka sejak lama, mereka kan bersahabat, kanjeng Nabi ﷺ sendiri pernah bersabda :

إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له، أو حمله على الدابة، فلا يركبها ولا يقبله، إلا أن يكون جرى بينه وبينه قبل ذلك

“jika salah seorang diantara kalian meminjamkan uang, kemudian yang meminjam uang itu memberi hadiah atau mengajakmu naik kendaraannya, maka janganlah naik dan janganlah terima hadiahnya kecuali itu (saling memberi hadiah) sudah menjadi kebiasaan kalian sebelumnya”[3]

Okelah, anggap saja itu bukan kebiasaan mereka, jadi si Wakidi ini benar-benar dapat manfaat dari kang Emus karena sudah membelikan martabak di pasar. Namun apakah manfaat seperti yang diperoleh Wakidi merupakan manfaat ribawi ??? pertanyaan horor..

Ternyata ulama begitu telaten, sabar dan cerdas dalam memahami masalah ini, mereka setelah mengumpulkan, memilih dan menganalisa seluruh dalil-dalil tentang maksud manfaat ini akhirnya membuat kesimpulan, bahwa bukan manfaat secara mutlak yang di kategorikan riba namun manfaat yang memiliki taqyid (kriteria-kriteria) tertentu, mereka berkata :

المنفعة الزائدة المتمحضة المشروطة للمقرض على المقترض

“manfaat yang bersifat tambahan, murni, yang disyaratkan pemberi pinjaman kepada peminjam ketika akad (transaksi)”[4]

Jadi manfaat yang bersifat riba itu harus memiliki kriteria sebagai berikut :

Bersifat tambahan : uang yang kamu pinjamkan setelah kembali jadi bertambah.
Bersifat murni : maksudnya, manfaat ini murni diterima si pemberi pinjaman, si peminjam tidak punya manfaat apa-apa kecuali uang yang dipinjam, adapun kalau sama-sama dapat manfaat maka ini masih khilaf di kalangan ulama.
Tambahannya disyaratkan di akad (transaksi), misal : yaudah aku kasih pinjam kamu uang sepuluh ribu, tapi syaratnya nanti kamu balikin uangnya dua belas ribu yahh yahh yahh..
Kembali ke kasus Wakidi, setelah tau apa itu manfaat yang dimaksud para fuqoha, kita aplikasikan ke kasus Wakidi :

Apakah ada manfaat tambahan yang diterima Wakidi sebagai balasan dari meminjamkan uang untk membeli martabak ? ada, yaitu makan martabak bareng sama kang Emus.
Apakah hanya Wakidi yang murni dapat manfaat dari transaksi pinjam meminjam ini ? tidak, karena kang Emus juga dapat manfaat yaitu ga perlu jauh-jauh pergi ke pasar Cuma buat beli martabak.
Apakah ketika hendak membelikan martabak untunk kang Emus dengan uangnya Wakidi mensyaratkan makan bareng sebagai imbalannya ? tidak ah..
Nah jadi, setelah kita sama-sama melihat semua kemungkinan jatuhnya Wakidi pada lubang hitam yang bernama riba, pada akhirnya Wakidi terlepas juga dari semua jeratan riba yang disangkakan kepadanya. Dia tetap makan martabak bareng kang Emus di rumah, setelah cape macet pulang dari pasar.

Namun pada akhirnya, pesan yang ingin disampaikan dari tulisan ini adalah agar kita semua selaku orang awam yang miskin ilmu atau paling hebatnya sebagai tholibul ilmi, agar jangan mudah memastikan segala sesuatu.

Mungkin di luar sana ada sesuatu yang belum kita tau, ingat “tidak tau bukan berarti tidak ada” perbedaan pendapat bukanlah masalah, yang masalah adalah sikap yang salah atas perbedaan. Islam itu rahmat, dan rahmat Allah sangatlah luas, jangan di sempit-sempitin. Kanjeng Nabi ﷺ berpesan :

أبشروا ولا تنفروا ……

“Berilah mereka kabar gembira, jangan buat mereka lari …”

[1] Lisan al-Mizan libni hajar (3/128-129)

[2] Fath al-mu’in hal. 231

[3] HR. Ibnu majah

[4] Al-Istidzkar (21/45), al-mughni (6/440) al-Mutaqo (5/97)

Sumber: https://rumahfiqih.com/y.php?id=505