Boleh Menyalurkan Zakat ke Orang Tua Kandung, Ini Syaratnya
Dalam surat Attaubah ayat 60 Allah SWT menjelaskan secara rinci tentang orang-orang yang berhak menerima zakat:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat At-Taubah ayat 60).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat teringkas dalam delapan golongan. Delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas dipilih sebagai penerima zakat secara umum, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal (harta).
Terkadang ada situasi dan kondisi dimana kita ingin menyalurkan zakat kepada orang tua kandung kita. Lalu bagaimana hukumnya?
Para ulama’ syafi’iyah memberikan perincian hukum tentang keluarga yang boleh diberikan zakat dan keluarga yang tidak boleh menerima zakat.
Jika yang dimaksud keluarga dari pihak muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka.
Hal ini misalnya memberikan zakat kepada orang tua dan anak yang wajib dinafkahi oleh muzakki, misalnya karena anaknya masih kecil dan tidak mampu untuk bekerja, orang tua sudah tua dan tidak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya. Maka dalam keadaan demikian tidak boleh memberikan zakat kepada mereka.
Namun patut dipahami bahwa larangan memberikan zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi, hanya ketika mereka termasuk dari golongan fakir, miskin atau mualaf. Jika mereka termasuk dari selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima zakat.
Penjelasan tentang ketentuan ini seperti yang tercantum dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab.
‘Boleh membagikan zakat kepada anak dan orang tua dari bagian ‘Amil, Mukatab, Orang yang punya hutang, Orang yang berperang ketika memiliki sifat-sifat tersebut. Tidak boleh membagikan zakat dari golongan orang-orang muallaf, jika termasuk orang yang wajib menafkahinya. Sebab terdapat kemanfaatan yang kembali pada pihak yang membayar zakat, yakni gugurnya nafkah. Jika orang tua atau anak termasuk orang yang tidak wajib menafkahinya maka boleh untuk memberikan zakat kepadanya,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab, juz VI, halaman 229).
Di dalam al-Mughni (2/269), Ibnu Quddamah berkata, “Sedekah wajib (zakat) tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua, tidak pula kepada anak. Ibnu al-Mundzir berkata, ‘Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh dibayarkan kepada kedua orang tua yang merupakan orang-orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki sendiri. Sebab membayarkan zakat kepada mereka sama saja dengan ingin menggugurkan diri dari kewajiban menafkahinya. Selain itu, keuntungan dari zakat itu kembalinya kepada muzakki sendiri, seolah ia membayar zakat kepada dirinya sendiri. Tidak boleh pula muzakki memberikan zakatnya kepada anak-anaknya.’ Imam Ahmad berkata, ‘Kedua orang tua tidak boleh diberi zakat, tidak pula anak dan cucu, kakek ataupun nenek.’”
Tetapi menurut sebagian ulama, ada dua pengecualian dari kaedah itu:
Pertama: Bila orang tua atau anak adalah orang yang terlilit utang. Maka di sini mereka boleh diberi zakat. Sebab bapak tidak diwajibkan melunasi utang anaknya, demikian pula anak tidak wajib melunasi utang bapaknya.
Kedua: harta muzakki tidak cukup untuk menafkahi orang tua dan anak-cucunya. Maka saat itu, ia tidak berkewajiban menafkahi mereka. Meski demikian, ia boleh memberi mereka harta zakat.
Syeikh al-Islam Ibnu Taymiah berkata dalam al-Ikhtiyarat (hal: 104), “Dibolehkan bagi seseorang untuk membayarkan zakatnya kepada kedua orang tua dan kakek atau neneknya, atau kepada anak-cucunya bila mereka miskin dan ia tidak bisa menafkahi mereka. Demikian pula bila mereka adalah orang-orang yang terlilit utang, atau budak yang ingin membebaskan dirinya, atau ibnu sabil. Dan bila ada seorang ibu fakir yang memiliki anak-anak yang masih kecil, namun anak-anaknya itu memiliki harta sendiri, sementara di satu sisi bila harta itu digunakan untuk menafkahi ibunya akan berbahaya, maka sang ibu boleh menerima zakat dari mereka.”.