Fidyah Puasa Ramadan
QS. Al-Baqarah: 184 menyebutkan bahwa bagi mereka yang tidak mampu untuk berpuasa, maka diwajibkan atas mereka membayar fidyah (فدية), hanya saja Al-Quran tidak memberikan kepada kita penjelasan secara utuh tentang apa itu fidyah, atas keumuman inilah akhirnya para ulama memberikan penjelasan yang beragam.
Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
Menurut Ibnu Al-Manzhur dalam Lisan Al-Arab fidyah secara bahasa berarti:
مَالٌ أَوْ نَحْوُهُ يُسْتَنْقَذُ بِهِ الأَسِيرُ أَوْ نَحْوُهُ فَيُخَلِّصُهُ مِمَّا هُوَ فِيهِ
“Harta atau sejenisnya yang dipakai untuk meyelamatkan tawanan atau sejenisnya sehigga dia terbebas darinya”
Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam Ta’rifatnya memberikan penjelasan bahwa fidyah itu adalah:
هِيَ الْبَدَلُ الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ
“Pengganti untuk membebaskan seorang manusia mukallaf dari suatu larangan yang berlaku padanya”
Dilihat dari definisi diatas ternyata fidyah itu adalah nama umum yang berlaku dalam banyak hal, pengganti tawanan dalam kondidi peperangan, pengganti kesalahan atas apa yang dilakuakn dalam haji, juga pengganti atas berbukanya seseorang dengan alasan tertentu pada bulan puasa, dan seterusnya.
Bentuk fidyahnya juga beragam, tergantung dengan kondisi dimana fidyah itu ada. Pengganti untuk tawanan biasa apa saja, pengganti dalam ibadah haji adalah menyembilih sembelihan, sedang fidyah dalam bab puasa Ramadhan biasa berupa makanan pokok dan sejenisnya.
Makanan yang dimaksud diberikan kepada fakir dan miskin yang memang membutuhkan makanan untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Wajib Fidyah Bagi Siapa Saja?
Kebolehan untuk berbuka itu tentunya dengan ragam alasan, dan tidak semua alasan berbuka dibolehkan menggantinya dengan membayar fidyah. Hanya ada beberapa kondisi saja, dimana mereka yang dibolehkan untuk berbuka pada bulan puasa untuk menggantinya dengan membayar fidyah.
Lanjut Usia dan Sakit
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika mereka yang sudah lanjut usia mendapati kondisi fisiknya sangat lemah. Ibnu Abbas menegaskan:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ اَلْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata, ”Telah diberikan keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin, tanpa harus membayar qadha’. (HR. Ad-Daruquthny dan Al-Hakim)
Hal yang sama juga berlaku untuk mereka yang sakit dengan katagori sakit berat yang dalam penilaian medis sudah tidak ada harapan sembuh.
Untuk itu fidyah ini tidak berlaku bagi mereka yang berbuka karena sakit yang sakitnya masih memungkinkan untuk sembuh. Mereka yang sakit karena DBD misalnya, sehingga harus diinapkan di rumah sakit, dalam kondisi seperti ini mereka boleh berbuka, namun setelah sembuh dari DBDnya maka cara menggantinya adalah dengan berpuasa, bukan dengan fidyah.
Hamil dan Menyusui
Dalam tulisan sebelumnya sudah dijelaskan tentang perbedaan ulama dalam permasalahan ini. Sebagian menilai mereka hanya wajib qadha saja, sebagian menilai wajib fidyah saja, ada juga pendapat yang menilai wajib qadha dan fidyah, dan pendapat yang membedakan antara hamil dengan menyusui.
Bagi yang menilai bahwa Ibu hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah saja, mereka meyandarkan pendapat ini dengan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair. Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam Mushannaf-nya bahwa sekali waktu Ibnu Umar ditanya perihal perempuan hamil dibulan puasa, beliau menjawab:
تفطر وتطعم كل يوم مسكينا
“dia boleh berbuka, dan membayar fidyah untuk orang miskin”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta perempuan hamil untuk berbuka dibulan puasa dan berkata:
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Kalian seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan orang miskin (membayar fidyah) disetiap hari yang ditinggalkan setengah sho’ dari hinthah”
Dan pendapat yang menilai bahwa ibu hamil dan menyusui harus mengganti puasa yang mereka tinggalkan dengan qadha dan fidyah dinlai sebagai pendapat yang lebih berhati-hati, agak berat memang, namun ini bukan pendapat sembarang orang, ini adalah pendapat dari madzhab Syafi’i serta ulama-ulama yang sejalan dengan mereka.
Untuk pendapat yang membedakan antara hamil dan menyusui maka fidyah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang menyusui, karena kondisi ini dalam madzhab Maliki diqiyaskan dengan kondisi sakit dan kondisi lanjut usia.
Karena itu dalam madzhab Maliki untuk ibu yang menyusui yang berbuka pada bulan Ramadhan, mereka wajib menggantinya dengan qadha puasa sekaligus fidyah.
Menunda Qadha Puasa Hingga Bertemu Ramadhan Berikutnya
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, jilid 3, hal 144 menilai bahwa mayoritas ulama berpendapat mereka yang mempunyai hutang puasa Ramadhan, lalu dengan sengaja tidak membayarnya hingga datang Ramadhan berikutnya, maka selain tetap wajib membayar hutang puasanya mereka juga wajib membayar fidyah atas kelalaian ini.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah ridhwanullahi ‘alaihim, juga pendapat Mujahid, Said bin Jubair, Atha’ bin Abi Rabah. Dan ini juga pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Meninggal dan Mempunyai Hutang Puasa
Untuk mereka yang berbuka puasa karena sakit, lalu setelah sembuh dari sakitnya belum sempat untuk megqadha puasa dan meninggal dunia, maka dalam kondisi seperti ini menurut ulama madzhab selain madzhab Syafi’i menilai bahwa wajib atas atas orang meninggal ini membayar fidyah.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُل يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Orang yang wafat dan punya hutang puasa, maka dia harus memberi makan orang miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.” (HR. At-Tirmizy)
Ibnu Abbas ra menyatakan:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِل عَنْ رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ يَصُومُ شَهْرًا وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ . قَال : أَمَّا رَمَضَانُ فَيُطْعَمُ عَنْهُ وَأَمَّا النَّذْرُ فَيُصَامُ عَنْهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa beliau ditanya dengan kasus orang yang meninggal dunia dan punya hutang nadzar puasa sebulan dan hutang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab: ”Hutang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, hutang puasa nadzar dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya”
Namun dalam madzhab Syafi’i bagi mereka yang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa maka wajib atas ahli warisnya membayarkan hutang puasa tersebut. Sebagaimana pesan dari nabi Muhammad SAW:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa yang meninggal dunia dan punya hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bentuk dan Besaran Fidyah
Bentuk fidyah puasa ini berupa makanan, biasanya adalah makanan pokok yang disetiap negri berbeda satu dengan yang lainnya. Makanan pokok ini bisa dalam bentuk siap santap atau hanya berupa bahan mentah, keduanya boleh-boleh saja, karena memang tidak ada aturan khusus yang mengikat.
Namun untuk ukuran fidyah, seberapa banyak jumlahnya yang harus dikeluarkan, disini para ulama berbeda pandangan:
Satu Mud
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’, jilid 6, hal 257-259 mengemukakan pendapatnya bahwa kewajiban fidyah itu hanya satu mud. Istilah mud ini adalah istilah yang menunjuk ukuran volume, bukan ukuran berat, sehingga jika dikonfersi kedalam hitungan berat sebagian menilai jumlahnya adalah 675 gram, atau kurang dari 1 liter. Satu mud ini berarti seperempat ukuran zakat fitrah yang jumlahnya empat mud.
Satu Sha’
Ini adalah pendapat dari kalangan Hanafiyah, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Kasani dalam Bada’i’i wa As-Shana’i’, jilid 2, hal. 92. Satu sha’ itu setara dengan empat mud, sama dengan jumlah zakat fitrah yang dibayarkan. Jika dikonfersi kedalam ukuran gram, lebih kurang beratnya adalah 2, 176 gram, atau 2, 7 liter.
Waktu Membayarkan
Karena fidyah ini adalah ganti atas puasa yang ditinggalkan, maka sudah barang tentu hitungan berapa hari jumlah puasa yang ditinggalkan akan diketahui setelah puasa usai. Untuk kasus seperti ini maka waktu pembayaran fidyah adalah setelah puasa usai, waktunya sama seperti waktu meng-qadha puasa.
Namun untuk mereka yang sudah bisa dipastikan hitungan hari berbukanya, maka dalam hal ini para ulama membolehkan untuk dibayarkan pada bulan puasa tersebut, bisa dibayarkan bersamaan dengan membayar zakat fitrah.
Orang tua yang sudah lanjut usia, dan bisa dipastikan tidak akan berpuasa, maka fidyah untuk mereka ini boleh dibayarkan sebelum Ramadhan berakhir.
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc,. MA – Rumah Fiqih