4 min read

Hukum Khutbah Jum'at Menggunakan Bahasa Indonesia

Hukum Khutbah Jum'at Menggunakan Bahasa Indonesia

Oleh : Ahmad Sarwat, Lc., MA

Jumhur ulama dari Mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanablah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah disampaikan dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-rukunnya. Sedangkan selain yang rukun dibolehkan untuk disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami oleh para pendengarnya.

1. Mazhab Al-Malikiyah : Wajib Berbahasa Arab

Mazhab ini mewajibkan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab. Bahkan sampai mengatakan bila di suatu tempat tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, walaupun dengan membaca rukun-rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah dan shalat Jumat.

Dan disyaratkan pula khatib memahami apa yang dibacanya dalam bahasa Arab itu, bukan sekedar bisa membunyikan saja. [1]

2. Mazhab Asy-Syafi’iyah : Wajib Berbahasa Arab

Senada dengan mazhab Al-Malikiyah di atas, mazhab Asy-Syafi’iyah juga berfatwa tentang keharusan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab.

Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan apabila tidak ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya bagi khatib tersebut untuk belajar bahasa Arab. Sehingga belajar bahasa Arab itu dalam mazhab ini hukumnya menjadi fardhu kifayah.

Dan apabila tidak seorang pun yang melakukan belajar bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Dan untuk itu gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat Dzhuhur saja.[2]

3. Mazhab Al-Hanafiyah : Tidak Wajib Berbahasa Arab

Satu-satunya pendapat yang membolehkan khutbah Jumat disampaikan di luar bahasa Arab hanyalah mazhab Al-Hanafiyah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pendapat imam mazhabnya, yaitu Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Sementara kedua ulama besar di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf, justru tidak sepakat dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah, yang sebenarnya adalah imam mereka sendiri.

Lucunya, kedua ulama yang menjadi ikon mazhab Al-Hanafiyah malah cenderung sepakat dengan pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa khutbah Jumat tidak sah apabila tidak menggunakan bahasa Arab, setidaknya pada bagian rukunnya saja.

Kalau selama ini kita ikut shalat Jumat yang mana khatibnya menyampaikan khutbah dalam bahasa Indonesia, atau bahasa Jawa, Sunda, Batak, Padang dan lainnya, ketahuilah sebenarnya tanpa disadari kita ini telah bertaqlid kepada pendapat Al-Imam Abu Hanifah. Setidaknya dalam kasus khutbah Jumat.

Dan perlu diketahui juga bahwa bukan hanya khutbah Jumat yang boleh disampaikan dengan bahasa selain Arab, bahkan ibadah shalat pun juga dibolehkan dengan menggunakan bahasa selain Arab.

Nampaknya, untuk kasus shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia, di negeri kita tidak ada satu pun yang memakai pendapat mazhab Al-Hanafiyah ini. Mungkin dianggap kasus khutbah dan shalat berbeda.

Dasar Pengambilan Hukum

Lalu apa dasar dan latar belakang jumhur ulama mengharuskan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab, meski hanya rukunnya saja?

Dasarnya adalah ittiba’ kepada yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan generasi penerusnya hingga 14 abad kemudian. Padahal boleh jadi khutbah itu disampaikan di luar negeri Arab, dimana mayoritas penduduknya tidak mengerti bahasa Arab.

Kebanyakan ulama memandang bahwa khutbah Jumat ini lebih merupakan ibadah ritual (ta’abbud), ketimbang bagaimana orang memahami isi pesan di dalamnya.

Alasannya karena khutbah Jumat tidak lain merupakan pengganti dari dua rakaat shalat Dzhuhur. Dan shalat itu wajib berbahasa Arab, sehingga khutbah pun wajib disampaikan dalam bahasa Arab, meski tidak satu pun dari hadirin memahami isi khutbah itu.

Jalan Tengah

Lepas dari perbedaan pendapat antara yang mewajibkan khutbah berbahasa Arab dengan pendapat yang tidak mewajibkan, sebenarnya dalam praktenya sehari-hari, yang kita lakukan selama ini sudah benar dilihat dari dua pihak.

Sebab mereka yang mewajibkan bahasa Arab menyebutkan bahwa minimal bahasa Arab itu digunakan pada rukun-rukun khutbah. Dan sejatinya, para khatib Jumat itu, meski kebanyakan tidak menguasai bahasa Arab, tetapi ketika mereka menyebutkan rukun-rukun khutbah, kebanyakan menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Coba saja perhatikan, ketika membuka khutbah para khatib itu pasti memulai dengan lafadz hamdalah dan shalat kepada Nabi SAW. Umumnya kedua rukun ini disampaikan dalam bahasa Arab tanpa disadari.

Kemudian, rukun berikutnya adalah membacakan petikan ayat Al-Quran. Tentu saja pasti menggunakan bahasa Arab. Sebab akan menjadi tidak sah apabila khutbah tidak membacakan petikan ayat Al-Quran. Dan juga tidak sah kalau yang dibaca cuma terjemahannya saja. Dan para khatib biasanya amat fasih melantunkan ayat-ayat Al-Quran dalam bahasa Arab di dalam khutbah Jumat.

Dan rukun berikutnya adalah menyampaikan wasiat. Ini pun oleh para khataib juga disampaikan dalam bahasa Arab. Bukankah kita sering mendengar khatib membaca lafadz  Ittaqullaha haqqa tuqatihi. Nah, itu adalah wasiat atau pesan untuk bertaqwa dan disampaikan dalam bahasa Arab. Asalkan sudah baca lafadz itu, sebenarnya sudah cukup dan kewajiban menyampaikan wasiat sudah gugur.

Terakhir yang merupakan rukun khutbah Jumat adalah mendoakan umat Islam. Dan biasanya, semua khatib akan mengucapkan lafadz doa yang pasti kita hafal, Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat. Tentu saja doa itu juga berbahasa Arab.

Jadi dengan demikian, sebenarnya semua rukun khutbah sudah tersampaikan dalam bahasa Arab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Kalau pun kita berpegang kepada pendapat jumhur ulama, tidak ada satupun yang terlanggar.

Bukankah Tujuan Khutbah Merupakan Penyampaian Pesan?

Kalau ada pihak yang protes bahwa khutbah Jumat itu seharusnya merupakan ajang disampaikannya pesan dan nasehat, tentu kita tidak bisa menolaknya. Memang benar pendapat itu, setidaknya menurut pendapat Abu Hanifah.

Walau pun kalau menurut pendapat jumhur ulama, mereka lebih menekankan aspek ritual ibadahnya. Khutbah jumat lebih merupakan ritual ibadah sebagaimana shalat. Mau bacaannya dipahami atau tidak, tidak jadi masalah. Yang penting unsur-unsur ritualnya sudah terpenuhi.

Maka kalau para khatib kita mencampur antara khutbah dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, rasanya sudah memenuhi kedua pandangan dari dua pendapat yang berbeda. Ketika para khatib membaca bagian yang merupakan rukun khutbah, mereka gunakan bahasa Arab. Dan ketika menyampaikan isi pesan, mereka gunakan bahasa Indonesia yang lebih komunikatif.

Artinya, apa yang dilakukan oleh para khatib kita saat ini sudah memenuhi kedua pandangan ulama yang berbeda.