Hukum Menerima Upah dari Bank Konvensional
Ada begitu banyak yang bertanya terkait hukum menerima upah dari bank konvensional, entah sebagai pegawai bank atau konsultan. Bagi sebagian orang, situasi tertentu membuat pilihan antara tetap bekerja di bank konvensional atau menjadi konsultan disana sebagai hal yang sulit dan pelik. Berikut beberapa pandangan terkait hukumnya.
Ahmad Sarwat – Rumah Fikih
Berikut jawaban ustad Ahmad Sarwat terkait pertanyaan mengenai hukum menerima upah dari bank.
Mungkin kegundahan anda lantaran anda menganggap bahwa gaji/honor anda dari istri karyawan bank konvensional itu haram. Sebab bank konvensional itu riba.
Perlu anda ketahui bahwa meski ada praktek ribawi di bank konvensional, namun bukan berarti semua transaksi di bank konvensional itu semua haram. Jadi kita tidak bisa memvonis bahwa semua karyawan bank konvensional dan keluarganya telah memakan harta yang haram, atau mengatakan mereka pasti masuk neraka semua.
Apalagi mengingat para karyawan itu sendiri tidak selalu berada pada posisi yang secara langsung melakukan transaksi ribawi. Janganlah kita mengatakan bahwa sekali riba, maka semuanya riba dan uang riba itu menular.
Kalau logikanya demikian, berarti seharusnya seluruh bangsa Indonesia ini pun menjadi pemakan harta riba semua. Bukankah semua uang yang kita punya itu ada lambang Bank Indonesia- nya? Bukankah negara ini diselenggarakan dengan biaya pinjaman ribawi? Bukankah semua infra struktur di negeri ini baik jalan, penerangan, listrik, air, telepon, sekolah, bahkan semua sarana publik lainnya di bangun dengan menggunakan anggaran yang sumbernya dari bank konvensional?
Apakah lalu semua kita ini menjadi pemakan harta yang ‘tertular’ riba? Tentu saja jawabnya adalah tidak.
Jadi anda tidak perlu resah bila digaji oleh orang yang penghasilannya dari bekerja di bank konvenional. Sebab uang riba itu tidak menular seperti virus flu burung yang sekarang sedang berjangkit.
sumber: Menerima Upah Mengajar Ngaji dari Karyawan Bank Konvensional
Quraish Shihab – Pusat Studi Alquran
Bekerja di Bank, apakah gaji dan tunjangan yang selama ini diterima karyawannya adalah haram?
Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof M Quraish Shihab, sebagaimana dinukilkan dari dokumentasi Harian Republika yang tayang November 1995. Berikut jawaban lengkap Prof M Quraish Shihab:
Para ulama bahkan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya riba, karena dalam Alquran hal tersebut disebutkan secara jelas dan pasti.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
“Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah [2]: 275).
Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang definisinya, sehingga mereka pun berbeda pendapat tentang praktek perbankan umum khususnya menyangkut bunga bank. Karena itu ada ulama yang membolehkannya, dengan alasan bukan riba.
Sementara yang menilainya riba pun, ada yang membolehkannya dengan alasan darurat atau kebutuhan. Lalu ada juga yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkannya secara mutlak.
Di sisi lain banyak praktek perbankan dan aneka jasa yang ditawarkannya. Jika anda berpendapat sebagaimana pendapat teman Anda itu bahwa perbankan tempat Anda bekerja melakukan transaksi atas dasar riba, kemudian hati Anda cenderung mengharamkan secara mutlak, maka dalam hal ini bekerja dan membantu terselenggaranya praktek riba itu, apapun bentuknya, adalah haram. Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim melalui sahabat Beliau Abu Juhaifah bahwa:
لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Allah mengutuk pemakan riba dan pemberinya makan, kedua saksinya, dan pencatatnya.”
Karena itu, jika perbankan tempat Anda bekerja hanya menawarkan jasa atas dasar riba itu saja, maka tentu saja keterlibatan Anda bekerja di sana juga dinilai haram. Tetapi kalau hati Anda belum/masih ragu tentang hukumnya, karena perbedaan pendapat ulama seperti tergambar di atas, maka dalam keadaan semacam ini pun sebaiknya Anda mencari tempat bekerja yang lain, kecuali jika Anda tidak mendapat tempat kerja lain yang dapat menutupi kebutuhan hidup anda dan keluarga.
Ini, sekali lagi, bila perbankan tempat Anda bekerja hanya menawarkan jasa atas dasar riba. Tetapi bila ada jasa lain yang ditawarkannya dan jasa tersebut tidak haram, maka ini berarti bahwa bank tersebut mencampurkan antara uang halal dan haram. Percampuran uang halal dan haram ini membuka peluang untuk dibenarkannya bekerja di sana, apalagi jika uang tersebut tidak dapat dipisahkan.
Mantan Mufti Mesir Shekh Gad el-Haq pernah diajukan pertanyaan serupa, beliau menjawab dengan mengutip kaedah-kaedah yang dikemukakan oleh ulama bermazhab Hanafi dan sebagian ulama Syafi’i dan berkesimpulan bahwa, apabila aktivitas bank bercampur antara yang halal dan yang haram, maka dalam keadaan ini tidak ada halangan untuk bekerja di sana. Demikian ditulisnya dalam bukunya Buhust wa Fataawa Islamiyah fi Qadhaayaa Mu’ashirah, jilid II halaman 746.
sumber: Benarkah Bekerja di Bank Haram dan Harus Cari Kerjaan Lain?
Ustadz Muhammad Syamsudin – Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Hak orang yang bekerja adalah menerima gaji. Setiap gaji yang diperoleh dari hasil kerja yang dhahirnya halal, maka gaji yang diterima juga halal. Kecuali jika Anda bekerja membantu pencurian, maka diputus sebagai haram sebab pencuriannya. Jika pekerjaan yang dilakukan adalah halal, maka gajinya juga halal. Sebagai satpam, pekerjaan satpam adalah halal. Demikian juga gajinya, maka halal, meskipun tempat bekerjanya pemroduksi barang haram. Satpam bekerja karena mengikut perintah menjaga aset saja.
Gaji seorang pegawai bank, atau pegawai lembaga perkreditan, adalah halal, karena ia dikaji karena faktor jerih payahnya dalam bekerja mencatat transaksi, dan sejenisnya. Karena pekerjaannya halal, maka gajinya adalah halal pula. Pokok masalah sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas, bila sang juragan sumber nafkahnya berasal dari perkara haram. Apakah gaji sang karyawan juga haram? Tentu tidak. Pada saat Sang Juragan memberikan uang yang secara dhahirnya adalah diduga halal diterima oleh pegawai, maka halal pula bagi pegawai itu menerimanya. Apabila sang pegawai meyakini bahwa mayoritas sumber keuangan Sang Juragan dari perkara haram, maka pada dasarnya gaji yang dibayarkan ke pegawai adalah bukan dari barang haram, tapi justru dari barang halal sang juragan. Status pemberiannya disebut hibah/hadiah. Sementara gaji karyawan itu sendiri pada hakikatnya belum dibayar oleh sang juragan. Jadi, sang juragan—pada hakikatnya—memiliki hutang kepada karyawannya disebabkan karena dia belum menggajinya.
Kesimpulan dari jawaban saudara penanya, dalam masalah ini adalah:
- Sumber pendapatan keuangan lembaga perkreditan yang saudara terima tidak sepenuhnya berasal dari jalan haram. Kemungkinan sumber pendapatan yang haram adalah diperoleh dari riba nasiah (riba kredit) yang berasal dari denda atau ketidakjelasan akad antara akad jual beli dan akad sewa.
- Karena sumber pendapatan keuangan lembaga tidak mutlak haram, maka status uang yang diberikan sebagai gaji juga tidak mutlak haram.
- Status gaji seorang pegawai—di mana saja ia bekerja kecuali memang asal tempatnya jelas haram—hukumnya adalah halal. Sifat kehalalan gaji ini adakalanya karena jelas halalnya, namun di sisi yang lain ada kemungkinan sharfu al-maqshud (pengalihan niat), yaitu bahwa gaji yang diberikan oleh lembaga dianggap sebagai hibah/hadiah dari lembaga. Sementara gaji hakikinya, lembaga tersebut sejatinya belum membayar sehingga ia punya tanggung jawab hutang kepada pegawai.
Sumber: Hukum Gaji Bekerja di Lembaga Perkreditan Konvensional
Esrar Al Haque, Lc. M. Hi – Tanya Tuan Guru
Hukum gaji pegawai bank konvensional sangat berkaitan dengan hukum transaksi perbankan itu sendiri, apakah termasuk riba atau bukan.
Para ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer, semua sepakat akan keharaman riba. Tak ada satupun yang menghalalkan riba. Akan tetapi terhadap bunga bank sebagai permasalahan kontemporer, para ulama berbeda pandangan apakah termasuk riba atau bukan.
Maka sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba. Pendapat ini juga merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti syaikh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini dipilih oleh Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.
Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ
“Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa”. (Lihat: Ali Ahmad Mar’i, Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-Azhar Press, halaman 134-158).
Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank: Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba.
Terhadap masalah khilafiyah seperti ini, prinsip saling toleransi dan saling menghormati harus dikedepankan. Sebab, masing-masing kelompok ulama telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan hukum masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap berbeda.
Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya.
Dan tentu saja kehati-hatian tetaplah harus dikedepankan semampu kita.