2 min read

Ketika Nabi Berhutang

Ketika Nabi Berhutang

Agama Islam tak lepas menyoroti perkara detail hidup manusia, termasuk utang-piutang. Meski hukum utang-piutang diperbolehkan, namun bagaimana sesungguhnya Nabi meninggalkan teladan hingga sepeninggalnya?

Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah As-Samman dijelaskan, Nabi Muhammad tidak sedang meninggalkan utang. Meski dalam sebuah hadis diceritakan bagaimana Rasulullah pernah berutang tepung dari gandum sebelum meninggal.

Meski pembayaran tepung gandum itu ditangguhkan Nabi, Nabi menyerahkan baju besi sebagai jaminannya. Kemudian beliau meninggal sebelum masa jatuh temponya tiba. Hadits yang dikeluarkan tentang peristiwa ini yaitu gadai zirah, kemudian mensifatinya sebagai utang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Dari Anas bin Maik dan Aisyah diriwayatkan: “Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran yang ditangguhkan. Lalu beliau meminjamkan (gadai). baju besi beliau kepadanya,”.

Hadits lainnya yang diriwayatkan Aisyah berbunyi: “Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran yang ditangguhkan sampai setahun, kemudian beliau menggadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan) kepadanya,”.

Sementara, Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya yang berjudul Madinah Era Kenabian: Kajian Kritis Sirah Nabawiyah Madinah Dalam Sosial, Agama dan Politik”, menjelaskan,  salah satu fakta yang sering diketahui adalah bahwa Rasulullah SAW wafat dalam keadaan baju besinya masih tergadaikan pada seorang Yahudi. 

Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi tersebut karena ingin membeli gandum untuk dimakan bersama keluarganya. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut :

“Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, sampai wafatnya Nabi tidak sempat melunasi utang tersebut hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib lah yang membayarkannya.

“Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum”. (HR. Bukhari).

Saat Nabi Ditagih untuk Membayar Hutang

Diriwayatkan ada seorang Yahudi menagih utangnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menagih seekor unta yang pernah dipinjam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Pakar Fikih Muamalat Kontemporer Erwandi Tarmizi, orang yahudi tersebut menagih dengan cara yang sangat kasar. Hal ini membuat sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memukulnya.

Melihat gelagat para sahabatnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia! Sesungguhnya pemilik hak memiliki alasan berbuat demikian”. Lalu Nabi memerintahkan sebagian sahabat membeli unta untuk membayar utang beliau. 

Mereka berusaha mencari unta yang sama umurnya dengan unta yang dipinjam namun tidak mendapatkannya. Mereka melaporkannya kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa yang ada hanyalah unta yang lebih bagus umurnya dari yang dipinjam. 

Lalu Nabi bersabda, “Belilah unta yang lebih bagus itu dan bayarkanlah! Sesungguhnya orang yang paling baik adalah orang yang membayar utang dengan yang lebih baik”, hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Hadits di atas memberikan pelajaran bahwa betapa Islam menjunjung tinggi keadian, sekalipun pemilik utang adalah seorang Yahudi yang merupakan musuh umat Islam, dan berlaku kasar kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para sahabatnya. Akan tetapi Nabi tidak menzaliminya, bahkan sebaliknya, beliau membayar utangnya dengan pembayaran yang Iebih bagus dari barang yang diambil. Akhlak mulia Rasulullah telah dipuji Allah dalam firman-Nya,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar benar berbudi pekerti yang agung” (Al Qalam ayat 4).

Oleh karena itu, haram hukumnya seseorang menzhalimi orang lain, sekalipun orang yang dizhalimi adalah non-Muslim. Allah berfirman, 

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan janganlah sekali-kall kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (Al Maidah ayat 8).