Keutamaan Ahli Ilmu Atas Ahli Ibadah
Di era pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh Coronavirus ini, seluruh lembaga besar keagamaan yang berisi para pakar uang tidak diragukan lagi keilmuannya, telah menfatwakan untuk #StayAtHome dan tidak melakukan sholat berjamaah dan Jum’atan di masjid untuk daerah yang masuk ke dalam kategori redzone, juga untuk orang yang masuk kategori positif, PDP dan ODP.
Namun tidak sedikit orang yang dengan semangat beribadah yang menggebu-gebu memandang remeh dan merasa tidak perlu takut dan ngotot tetap ingin melakukan sholat berjama’ah di masjid, tanpa mengindahkan pertimbangan syariat dari hasil penggodokan para ahli ilmu tersebut. Lalu mana yang harus lebih kita dengarkan?
Diriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata: Disebutkan kepada Rasulullah SAW tentang dua orang, yaitu seorang ahli ibadah dan seorang ahli ilmu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian.” Setelah itu beliau melanjutkan, “Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, dan para ikan mendoakan pengajar kebaikan pada manusia.” (HR At-Turmidzi).
Dalam redaksi lain Al Bazzar meriwayatkan hadis ini dari ‘Aisyah ra bahwa: “Para pengajar kebaikan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai oleh para ikan di lautan.”
Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Alquran yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Hadis ini adalah salah satu bagian kecil dari kaidah Islam, yang memperlihatkan penghargaan yang tinggi pada ilmu dan orang-orang yang memilikinya.
Ibadah adalah sebuah kemuliaan, tapi jauh lebih mulia ilmu dan orang-orang yang memilikinya. Demikian utama orang berilmu di atas ahli ibadah, hingga Rasul dalam hadis di atas mengumpamakan kemuliaan dirinya dengan orang yang paling rendah di antara para sahabatnya. Perumpamaan ini analog dengan perumpamaan “bagaikan langit dan bumi” karena sangat jauhnya.
Hadis ini diperkuat juga oleh beberapa hadis lainnya, seperti: Dua rakaat shalat seorang yang berilmu adalah lebih baik daripada seribu rakaat shalatnya orang bodoh. Dalam hadis lain disebutkan bahwa tidurnya seorang berilmu, nilainya lebih baik daripada shalatnya orang jahil.
Keutamaan seorang ‘alim (berilmu) akan semakin berlipat, tatkala ia mau mengajarkan ilmunya pada orang lain. Apa sebabnya? Allah SWT mengutus Muhammad Rasulullah SAW ke dunia, salah satunya adalah untuk mengajari manusia tentang apa-apa yang tidak diketahuinya (QS Al Jumu’ah [62]: 2).
Karena itu, para pengajar kebaikan hakikatnya melanjutkan tugas Rasulullah SAW untuk mengajari orang yang tidak tahu menjadi tahu, mengingatkan yang lalai, menunjukkan jalan pada yang sesat, serta melawan kesesatan pemikiran dan penyimpangan perilaku.
Orang berilmu dan dengan ikhlas menyebarkan ilmunya dapat dianalogikan dengan orang yang memiliki banyak lampu di kegelapan malam. Walaupun gelap, ia mampu berjalan menuju ke tempat tujuan tanpa mengalami kesulitan. Dengan lampu yang dimiliki, ia pun bisa menerangi orang lain yang tersesat karena gelapnya malam. Karena itu, wajar bila semua makhluk di langit dan di bumi memintakan ampunan baginya.
Ada satu kisah tentang keutamaan para pengajar dan yang belajar tentang ilmu. Suatu saat Rasulullah SAW masuk ke sebuah majelis. Di dalam majelis tersebut tampak dua kelompok, yang satu sedang khusyuk berzikir dan lainnya tengah serius belajar. Kemudian Rasul bersabda, “Kelompok pertama adalah kelompok yang baik. Semoga Allah mengampuni mereka. Sedangkan kelompok kedua yang sedang mengajar dan mempelajari ilmu, semoga Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus.”
Tampaknya, kegemaran untuk belajar dan mengajarkan ilmu menjadi sesuatu yang sangat penting untuk saat ini. Tidak saja untuk mengejar predikat orang mulia, tapi juga untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Kita, dalam konteks pribadi maupun umat Islam, tidak akan bisa bangkit hanya dengan zikir atau ibadah ritual saja. Kita hanya akan bisa bangkit bila memiliki ilmu yang disinergikan dengan kekuatan ibadah. Begitu yang diungkapkan Syekh Syaqib Arselan dalam bukunya, Mengapa Umat Islam Terbelakang sedangkan Umat Non Islam Maju?.
Muhammad bin Idris As-Syafi’i atau Imam As-Syafi’i (767 M/50 H-820 M/204 H), peletak dasar Mazhab Fiqih Syafi’i berkata:
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : إنْ لَمْ تَكُنْ الْفُقَهَاءُ الْعَامِلُونَ أَوْلِيَاءً لِلَّهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ وَلِيٌّ
Artinya, “Imam As-Syafi’i berkata, ‘Kalau ahli agama yang saleh itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak memiliki wali.’” (An-Nawawi, Al-Majmuk fi Syarhil Muhadzdzab).
Imam As-Syafi’i menempatkan ulama atau ahli kajian agama pada kedudukan terhormat dalam Islam. Ia memasukkan ulama sebagai salah satu kelompok wali Allah, sebuah kedudukan terhormat di bawah kenabian.
Pandangan Imam As-Syafi’i tidak lepas dari penghormatannya secara pribadi terhadap ilmu pengetahuan. Ucapannya cukup terkenal, “Siapa yang menginginkan dunia, raihlah dengan ilmu. Siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga capailah dengan ilmu.”
Menurutnya Imam As-Syafi’i, aktivitas belajar lebih utama daripada aktivitas ibadah sunnah. Bahkan, aktivitas belajar atau menuntut ulmi adalah ibadah yang paling utama setelah ibadah wajib, antara lain shalat lima waktu. Imam As-Syafi’i mengatakan, “Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mencintai (menghargai) ilmu. Jangan sampai kau mengenal apalagi bersahabat dengan orang seperti itu.”