Menasehati Penguasa
Oleh: Ibnu Jauzi / Shaidul Khatir
Memberi peringatan kepada seorang penguasa haruslah dilakukan dengan baik dan santun. Jangan sekali-kali dilakukan secara frontal, misalnya mengatakan bahwa ia adalah manusia zalim. Jika dirasa ada kritik pedas yang menyenggol kewibawaan dan kekuasaannya, ia pasti akan sangat tersinggung.
Demikian catatan Ibnu Jauzi, ulama kenamaan abad 6 Hijriah (12 Masehi) tentang menasehati penguasa dalam kitabnya Shaidul Khatir.
Menurutnya terlebih dahulu sampaikan kepada para penguasa, tentang kemuliaan kekuasaan dan pahala bagi seorang pemimpin, serta contoh-contoh pemimpin yang adil pada zaman dahulu.
Lalu perhatikanlah bagaimana sang penguasa merespon. Jika ada benih yang baik dalam diri seorang pemimpin, niscaya akan mudah baginya menerima nasehat.
Sebagaimana terjadi pada khalifah Harun ar-Rasyid ketika dinasehati oleh Mansur bin Ammar. Ia menangis terisak, buah dari kebaikan dalam hatinya, serta nasehat yang meresap, yang lahir dari ketulusan dan niat baik si pemberi nasehat.
Namun ada juga jenis penguasa yang sulit ditembus dengan kebaikan. Kalbunya terperangkap kebodohan dan kesombongan. Berhati-hatilah dalam menasehati penguasa yang seperti ini. Umumnya lebih baik menghindari penguasa seperti ini. Bahkan ia akan menghinakan orang yang memujinya, apalagi yang menasehatinya.
Menasehati penguasa seperti ini bisa dicoba dengan isyarat atau secara tidak langsung. Sejarah membuktikan ada penguasa yang luluh hatinya terpukau oleh isyarat dan sindiran tak langsung dengan bahasa yang memukau yang menasehati dirinya. Misalnya khalifah al-Mansur yang diam saja ketika diberi isyarat tentang kezalimannya.
Namun zaman semakin kesini semakin berubah. Banyak penguasa yang berakhlak buruk, sementara para ulama diam saja. Mereka dipaksa berpura-pura. Jika tidak, ulama tersebut akan diboikot, bahkan dihinakan.
Zaman dahulu (sebelum era Ibnu Jauzi) pemerintahan itu diberikan kepada tangan-tangan yang memang memiliki kemampuan. Namun kini, kekuasaan berada dalam genggaman manusia tak berilmu, tak berakhlak, dan tak berhati nurani.
Orang-orang seperti ini hendaknya selalu diwaspadai. Lebih baik kita tidak mendekatinya.
Jangan pula menyinggung pejabat di depan penguasa. Mereka akan marah karena khawatir penguasa yang adil mengetahui penyimpangan yang dilakukannya.
Di jaman sekarang ini, berada jauh dari penguasa adalah lebih baik. Tidak memberikan nasehat kepada mereka lebih selamat. Jika terpaksa menasehati, lakukanlah dengan penuh kelembutan.
Nasihat bisa saja disampaikan kepada masyarakat umum, namun tanpa menyebutkan seseorang secara spesifik, sehingga para penguasa tidak merasa dibidik secara langsung oleh busur nasehat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kita dan para penguasa taufik.