Puasa: Sarana Mensucikan Jiwa
Urgensi puasa dalam tazkiyatun-nafs menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat, karena di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut.
Oleh sebab itu, puasa merupakan faktor penting dalam tazkiyatun-nafs. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bershabar. Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits:
“Puasa adalah separuh kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits hasan)
Allah telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa, firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar supaya kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Taqwa adalah tuntutan Allah kepada para hamba. Taqwa sama dengan tazkiyatun-nafs. Firman Allah:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 7-10)
Puasa ada yang sunnah dan ada pula yang wajib. Hukum-hukumnya sudah diketahui oleh orang yang hidup dalam lingkungan Islam. Dalam bab tazkiyatun-nafs dibahas mengenai adab-adab orang yang berpuasa.
Rahasia Puasa dan Syarat-syarat Batinnya
Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa orang super khusus.
Puasa orang awam adalah menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus ialah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasa orang super khusus ialah puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga menahan hati dari selain Allah secara total. Puasanya menjadi “batal” karena fikiran tentang selain Allah dan hari akhir; yaitu fikiran tentang dunia dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama. Dalam hal ini fikiran tentang dunia untuk bekal akhirat tidak dikatakan lagi sebagai dunia. Ini merupakan tingkatan para Nabi, Rasul, Shiddiqin dan Muqarrabin.
Adapun puasa orang khusus ialah puasa orang-orang shalih yaitu menahan anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan kesempurnaannya terpenuhi dengan melaksanakan enam perkara:
Pertama: Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliarannya mata memandang ke setiap hal yang dicela dan dibenci Allah ke setiap hal yang bisa menyibukkan hati dan melalaikan dari mengingat Allah ‘azza wajalla. Nabi Saw bersabda:
“Pandangan adalah salah satu anak panah beracun di antara anak panah Iblis-semoga Allah melaknatinya. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah maka ia telah diberi Allah keimanan yang mendapatkan kelezatan di dalam hatinya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ia men-shahih-kan sanad-nya).
Kedua: Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran, dan perdebatan; mengendalikannya dengan diam; menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah al-Qur’an. Dan itulah puasa lisan.
Sufyan berkata: ghibah dapat merusak puasa. Basyar bin al-Harits meriwayatkan darinya. Laits meriwayatkan dari Mujahid. Dua hal dapat merusak puasa: ghibah dan dusta. Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya puasa itu tidak lain adalah perisai, apabila salah seorang di antara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh, dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau mencacinya maka hendaklah ia mengatakan sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh) karena setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Oleh sebab itu Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan hal yang haram sama dengan orang yang memakan barang yang haram dalam firman-Nya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (Al Maidah: 42).
FirmanNya lagi:
“ Mengapa orang-orang alim mereka pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan yang bohong dan memakan yang haram?” (Al Maidah: 63).
Jadi, mendiamkan ghibah adalah haram. Firman Allah:
“Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An Nisa’: 140)
Keempat: Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syubhat pada waktu tidak puasa. Tidak ada artinya berpuasa, yaitu menahan makanan yang halal, manakala berbuka puasa memakan barang yang haram. Orang yang berpuasa seperti ini laksana orang yang membangun istana tetapi ia menghancurkan suatu negeri. Makanan yang halal akan berbahaya bukan karena jenisnya tetapi hanya bila dikonsumsi terlalu banyak.
Sementara puasa hanya untuk menguranginya. Orang yang berhenti mengkonsumsi obat karena takut bahayanya tetapi ia beralih meminum racun adalah orang yang bodoh. Barang yang haram adalah racun yang menghancurkan agama. Sedangkan barang yang halal adalah obat yang bermanfaat bila dikonsumsi sedikit namun berbahaya bila terlalu banyak. Tujuan puasa adalah mengurangi makanan yang halal tersebut. Nabi SAW bersabda:
“Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.” (Diriwayatkan oleh Nasai dan Ibnu Majah).
Dikatakan, ia adalah orang yang berbuka puasa dengan makanan yang haram. Dikatakan juga, ia adalah orang yang menahan diri dari makanan yang halal tetapi berbuka dengan “memakan daging manusia’ yakni dengan ghibah yang notabene haram. Dikatakan, ia adalah orang yang tidak menjaga anggota badannya dari berbagai dosa.
Kelima: Tidak memperbanyak makanan yang halal pada saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Karena tidak ada wadah yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan makanan halal. Bagaimana puasanya bisa bermanfaat untuk menundukkan musuh Allah dan mengalahkan syahwat jika orang yang berpuasa itu pada saat berbuka melahap berbagai macam makanan untuk mengganti berbagai makanan yang tidak boleh dimakannya pada siang hari. Bahkan telah menjadi tradisi, berbagai makanan disimpan dan dikumpulkan untuk dimakan pada bulan Ramadhan padahal makanan itu bisa jadi cukup untuk dimakan beberapa bulan di luar bulan Ramadhan.
Seperti diketahui bahwa tujuan puasa ialah pengosongan dan menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai taqwa. Bila perut didorong dari pagi hingga sore sampai syahwatnya bangkit dan seleranya menjadi kuat kemudian di saat berbuka dipenuhi dengan berbagai makanan yang lezat hingga kenyang maka bertambahlah kelezatan dan kekuatannya hingga bangkitlah syahwatnya yang seharusnya terredam seandainya dibiarkan apa adanya. Esensi dan rahasia puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan yang menjadi sarana syetan untuk mendorong manusia kembali kepada keburukan.
Tetapi hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan pengurangan makanan yakni memakan makanan yang biasa dimakan setiap malam waktu tidak berpuasa. Bahkan diantara adabnya ialah tidak memperbanyak tidur siang agar merasakan lapar dan dahaga sehingga merasakan lemahnya kekuatan sehingga hatinya menjadi jernih, kemudian berusaha agar setiap malam hari bisa melakukan shalat tahajud dan membaca wiridnya. Karena bisa jadi syetan tidak mengitari hatinya sehingga orang yang berpuasa bisa melihat berbagai keghaiban langit. Lailatul Qadar adalah malam tersingkapnya sesuatu dari alam ghaib yang dimaksud dalam firman Allah:
”Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam kemuliaan.” (Al Qadar: 1).
Barangsiapa yang meletakkan keranjang makanan di antara hati dan dadanya maka ia akan terhalangi dari malam kemuliaan tersebut. Namun barangsiapa yang mengosongkan perutnya sama sekali maka hal itu tidak akan cukup untuk mengangkat hijab selagi keinginannya tidak terbebas dari selain mengingat Allah. Itulah inti segala permasalahannya. Sedangkan prinsip semua itu adalah mempersedikit makanan.
Keenam: Hendaknya setelah ifthar hatinya “tergantung” dan “terguncang” antara cemas (raja’) dan harap (khauf), sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga termasuk dalam golongan muqarrabin atau ditolak sehingga termasuk dalam golongan orang-orang yang dimurkai? Hendaklah hatinya dalam keadaan demikian di akhir setiap ibadah yang baru saja dilaksanakan.
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Abul Hasan al-Bashri bahwa ia melewati suatu kaum yang tengah tertawa. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya. Kemudian ada orang-orang yang berlomba hingga menang dan ada pula orang-orang yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan ialah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang berpacu meraih kemenangan.”
Abu Darda’ berkata: “Duhai indah tidurnya orang-orang cerdas dan tidak puasanya mereka, bagaimana mereka tidak mencela puasa orang-orang bodoh dan begadangnya mereka! Sungguh satu butir dari kebaikan dari orang yang yakin dan bertaqwa lebih utama dan lebih kuat ketimbang segunung ibadah dari orang-orang yang tertipu.”
Oleh sebab itu sebagian ulama berkata: “Berapa banyak orang yang berpuasa sesungguhnya dia tidak berpuasa dan berapa banyak orang yang tidak berpuasa tetapi sesungguhnya ia berpuasa.”
Nabi Saw bersabda:
”Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di antaramu menjaga amanahnya.” (Diriwayatkan oleh al-Khara’ithi dan sanadnya hasan).
Sumber: Tazkiyatun Nafs, Sa’id Hawa