2 min read

Tafsir Surat Al-Kafirun

Tafsir Surat Al-Kafirun

Kali ini kita akan membahas tafsir surat Al-Kafirun bersama ust. Dr. Atabik Luthfi.

Katakanlah Wahai Muhammad!

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ . قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Katakanlah (Muhammad) wahai orang-orang kafir”. (Surat Al-Kafirun: 1)

Surat ini dikategorikan sebagai pedoman prinsip dalam berakidah dan berkeyakinan. Secara internal, masing-masing wajib meyakini keyakinan dan agama yang dianutnya. Namun secara eksternal, mengakui juga adanya keyakinan lain yang berbeda, yang merupakan hidayah.

Nabi saw diperintah oleh Allah swt di surat ini dengan beberapa hal, yang ditujukan kepada orang-orang kafir. Ibnu Katsir menukil sebab nuzul surat ini, bahwa orang-orang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah saw untuk menyembah berhala-berhala mereka selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun.

Aku tidak Menyembah yang Kalian Sembah

لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ

“Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah”. (Surat Al-Kafirun: 2)

Inilah perintah pertama Allah swt, kepada nabi Muhammad saw, dari lima perintah di surat ini. Kelima perintah ini menjadi jawaban, atas ajakan dan tawaran orang-orang musyrik Mekah.

Imam As-Sa’di memaknai ayat ini sebagai ‘Bara’ah’ (berlepas diri) dari semua yang disembah oleh mereka. ‘Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah’ merupakan ungkapan pernyataan dan penegasan. Pernyataan ini akan diulang kembali di ayat ke 4, dengan redaksi yang lebih menguatkan.

Hal ini mengisyaratkan, urusan keyakinan dan ibadah tidak mungkin ditawar, atau dipaksakan.

Kalian bukan Penyembah yang Aku Sembah

وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ

“Dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah”. (Surat Al-Kafirun: 3)

Ayat ini merupakan hakikat dalam pelaksanaan ibadah, sebagai cermin dan bukti dari keyakinan seseorang. Tidak mungkin seseorang menjalankan praktek ibadah, dari keyakinan yang tidak diyakininya.

Imam As-Sa’di menyampaikan alasan, karena tidak ada keikhlasan di dalamnya. Ibadah tanpa keikhlasan adalah tertolak. Karenanya digunakan redaksi ‘Kalian bukan penyembah (عابدون)’, menunjukkah sesuatu yang sudah melekat. Seandainya dijalankan juga seperti tawaran dan ajakan mereka, tentu tidak akan mungkin sungguh-sungguh.

Aku juga bukan Penyembah yang Kalian Sembah

وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ

“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah”. (Surat Al-Kafirun: 4)

Ayat ini merupakan penegasan, tentang keyakinan yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Seperti juga orang-orang Quraisy tidak mungkin bisa menyembah apa yang Rasul sembah. Rasul pun tidak mungkin menjadi penyembah apa yang mereka sembah, sebagai konsekuensi masing-masing.

Secara bahasa, ayat ini memperkuat ayat ke 2. Ayat kedua dengan kata kerja, sedang ayat ini dengan isim fa’il. Perbedaan ungkapan bahasa menunjukkan penegasan dan penguatan, atas keyakinan awal.

Kalian tidak pernah Menjadi Penyembah Apa yang Aku Sembah

وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ

“Dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah”. (Surat Al-Kafirun: 5)

Pernyataan di ayat ini kembali disampaikan oleh Rasulullah saw, dalam bentuk penyangkalan. Redaksi ayat ini sama dengan ayat 3, dalam bentuk isim, sebagai bentuk penegasan akan keyakinan mereka. Bahwa orang-orang musyrik Mekah tidak mungkin menjadi penyembah, apa yang disembah oleh nabi Muhammad saw.

Meskipun awalnya justru mereka yang menyampaikan ajakan dan tawaran, untuk saling menyembah yang berbeda. Hakikat keyakinan itu tidak dapat ditukar atau ditawar. Masing-masing beribadah sesuai keyakinan yang dianutnya.

Bagimu Agamamu, dan Bagiku Agamaku

لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. (Surat Al-Kafirun: 6)

Ayat ini menutup surat Al-Kafirun, sekaligus merupakan pernyataan terakhir Rasulullah saw, kepada kaum musyrik Mekah. Urusan agama dan ibadah diserahkan kepada masing-masing, tidak boleh dipaksakan.

Bahasa yang digunakan di ayat ini, didahului dengan ‘agamamu’, baru kemudian ‘agamaku’. Hal ini mengisyaratkan sikap Rasulullah saw yang bijaksana terhadap mereka, agar difahami dengan baik pula. Karenanya ayat ini dijadikan landasan, dalam menjalankan toleransi antar umat beragama.