Memahami Hadits Sampaikanlah Walaupun Hanya Satu Ayat
Banyak orang salah paham dengan hadits ini, sehingga menganggap wajib dakwah walaupun ilmu yang dimilikinya hanya sebatas satu ayat saja. Padahal makna hadits ini justru terbalik seratus delapan puluh derajat.
بلغوا عني ولو آية
Sampaikan tentang Aku walaupun hanya satu ayat. (HR. Bukhari)
Secara kekuatan sanad memang hadits ini shahih dan terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari. Sehingga tidak ada yang salah dari sisi kebenaran periwayatannya.
Hadits ini kemudian menjadi sangat populer, khususnya di kalangan penceramah, da’i, muballigh, khatib, termasuk ustadz kondang yang ‘doyan’ masuk televisi. Cuma sayangnya cara memahaminya yang justru bermasalah.
Karena di tangan mereka yang berhasrat berat untuk tampil di panggung ceramah, makna hadits ini jadi berbelok 180 derajat. Maknanya menjadi wajib berdakwah walaupun kita baru tahu satu ayat saja. Sementara ilmu-ilmu agama Islam yang begitu luas dan dalam, dianggap tidak perlu dipelajari dan tidak perlu didalami. Asalkan bisa sedikit cuap-cuap di depan mikrophone, selipkan disana-sini lawakan, ditambah yel-yel kreatif, maka dianggap sudah bisa berdakwah.
Atau asalkan sudah berjenggot lebat, celana cingkrang, baju gamis, bisa mengutip sepotong ayat atau hadits, lalu sudah merasa berhak mentahdzir para ulama yang jauh lebih luas ilmunya. Dituduhnya lah para ulama itu sebagai tukang taqlid yang harus diperangi, sementara dirinya justru jagoan taqlid nomor wahid.
Lucunya orang-orang pun juga seperti kena sihir, langsung menganggap tokoh ustadz yang ilmunya sebatas ‘satu ayat’ ini sebagai ulama besar yang dielu-elukan. Karena yang mereka lihat memang bukan ilmunya yang cuma satu-satunya itu. Tetapi yang dilihat adalah aksi panggung, kostum, penampilan, lawakan, atraksi sang ustadz. Dan tentunya sponsor produk yang membiayai produksi di televisi.
Adapun apa latar belakang pendidikan si ustadz ‘satu ayat’ itu, buat pengagum dan pendukungnya sama sekali sudah tidak penting lagi. Apakah ustadz dambaan mereka itu bisa bahasa Arab atau tidak, sama sekali tidak penting.
Apakah pernah belajar kitab kuning seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, maqashid syariah, qawaid fiqhiyah, juga tidak ada yang mempertanyakan. Kepada ulama mana saja ustadz ‘satu ayat’ itu pernah tekun menjadi murid, tidak ada yang mempertanyakan.
Pengertian ‘Walaupun Satu Ayat’
Inti kekeliruan pemahaman ini adalah ketika menyangka walaupun cuma punya ilmu satu ayat, sudah wajib berdakwah, mengajar, bahkan berfatwa. Padahal yang benar tentu saja tidak demikian.
Yang benar bahwa yang boleh mengajar hanya sebatas mereka yang ilmunya sudah banyak, matang, mumpuni, dan mendapatkan pengakuan (ijazah) dari gurunya saja. Kalau belum matang ilmunya kok tiba-tiba merasa diri sudah pintar, lantas sok belagu mengajar ilmu agama, bahkan berfatwa sambil menyalah-nyalahkan orang, maka azab dan laknat yang terjadi.
Kita melihat dengan jelas ada orang jahil alias bodoh mengangkat dirinya seolah-olah ulama. Ketika dimintai fatwa, sudah pasti fatwanya tanpa ilmu. Maka kata Nabi SAW, ustadz model ini bukan cuma sesat tetapi juga menyesatkan umat.
Kepada para ulama yang memang sudah berilmu banyak itulah sabda Nabi SAW ini ditujukan, yaitu sampaikan ilmu yang sudah banyak kamu miliki, walaupun cuma seayat saja.
Ketika menyampaikan, tidak mengapa walaupun cuma satu ayat saja. Karena memang tidak mungkin semua ilmu diajarkan sekaligus secara bertubi-tubi. Belum tentu yang belajar itu paham dengan mudah, karena kesulitan dalam mencerna. Intinya, tidak mudah mengajarjakan ilmu yang banyak secara sekaligus.Jadi sampaikanlah walaupun seayat demi seayat. Begitu maksudnya.
Al-Quran Turun Berangsur-angsur
Lihatlah bagaimana Al-Quran yang Allah turunkan secara berangsur-angsur, seayat demi seayat. Tentu bukan karena Allah itu tahunya cuma seayat-seayat saja. Walaupun Al-Quran sudah turun semua dalam satu kali dari sisi Allah ke langit dunia, tetapi penurunan tahap kedua, Al-Quran turun dari langit dunia ke permukaan bumi, seayat demi seayat.
Tentu ada banyak hikmah di balik metode berangsur-angsur ini. Setidaknya Al-Quran jadi lebih mudah untuk dipahami, dihafal dan dijalankan.
Namun dari sisi kandungan hukumnya, tentu keliru besar kalau kita mengajarkan kepada orang awam hanya sebatas satu ayat. Kenapa?
Karena ternyata satu ayat dengan ayat lain saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Dan hukum syariat itu dibangun dari sekian banyak ayat, bukan cuma satu ayat saja.
Boleh jadi ketika kita membaca suatu ayat, kita malah kebingungan karena tidak tahu maksudnya. Ternyata penjelasannya ada di ayat yang lain, atau malah di hadits nabawi dan bukan di dalam salah satu ayat.
Atau boleh jadi ternyata ayat itu sudah tidak lagi berlaku dan dihapus hukumnya oleh Allah SWT. Seperti ayat berikut ini :
وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىَ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
Dan para wanita yang berzina harus ada empat orang saksi diantara kamu. Kemudian apabila sudah ada saksi maka kurunglah mereka dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (QS. An-Nisa’ : 15)
Jadi hukuman buat wanita yang selingkuh berzina adalah dikurung atau dipenjara sampai mati? Benarkah demikian?
Ternyata jawabnya sama sekali tidak. Sebab ayat ini sudah dihapus hukumnya dengan ayat yang lain, yaitu ayat kedua dari surat An-Nur.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali. (QS. An-Nur: 2)
Maka bila seseorang baru tahu satu ayat saja, kok tiba-tiba sudah main tarik kesimpulan hukum seenaknya, sudah jelas hasilnya yaitu sesat dan menyesatkan. Fatwanya memang dari ayat Al-Quran, tetapi dengan cara pemahaman yang menyimpang dan keliru.
Semoga Allah SWT melindungi kita semua umat Islam dari tokoh-tokoh yang ‘ngebet’ mau jadi pendakwah, muballigh dan penceramah tetapi belum punya ilmu yang mencukupi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.